Bersama Kartini Kita Belajar Dari Mana Asal Kita?
Bersama Kartini kita belajar dari mana asal kita.Pixabay |
Budaya, kebiasaan setempat dari mana kamu berasal tak akan dikenal bahkan akan hilang, seiring perkembangan zaman. Cara untuk tetap melestarikan budaya atau kebiasaan setempat adalah menuliskannya dalam bentuk karya.
Berkarya di zaman digital
sangat mudah. Karena bejibun aplikasi dan kemudahan dalam mengakses media
online untuk berkarya. Yang menjadi kendalanya bukan tentang ketersediaan media
online, tapi soal kemalasan untuk berpikir.
Kebiasaan kita cenderung jadi
penikmat, ketimbang jadi pengulik. Kita lebih memilih kebudayaan luar dan
menerapkannya dalam keseharian kita. Sementara kebiasaan setempat, kita pandang
sebagai hal yang tak ada manfaatnya.
Anehnya, orang dari Eropa
berlomba-lomba datang dan menikmati kebudayaan kita. Lebih jauhnya, mereka
mengambil kebudayaan atau cara, kebiasaan setempat kita, lalu menerapkannya di
dalam negara mereka.
Mereka mulai mengolah
bahan mentah yang berasal dari kebudayaan setempat kita, lalu dipajang di
museum-museum mereka. Bukan hanya itu saja, mereka menulis dan mempublikasikan
di Media Massa.
Kita pun bangga akan kebudayaan
baru itu. Ternyata, apa yang kita tonton atau baca di Media Massa merupakan
kolaborasi dari keunikan budaya kita dengan budaya mereka. Mesin ATM kita pun
menjerit-jerit, dan kita pun berlomba-lomba untuk mengunjungi museum ternama di
Eropa, Amerika dan benua lainnya.
Oh, betapa begonya diri
kita.
Bertepatan dengan
perayaan R.A.Kartini kita pun harus kembali berbenah diri. Apa yang kita
benahi? Toh, semua sudah ada di internet, tinggal search atau cari di google
dengan mengetikkan kata kunci, apa yang kita cari, seketika muncul semuanya.
Logika atau cara berpikir
ini yang mengerdilkan atau mengebiri imajinasi kita untuk berkarya. Memang tantangan
di zaman digital dengan kemudahan akses ke segala penjuru, menyebabkan kita
kurang berjuang.
Kemudahan dalam mengakses segala sesuatu, tak menampik bahwasannya kita harus mengikuti apa kata orang. Seenggaknya kita menciptakan sesuatu dengan cara pandang yang baru. Atau dalam dunia jurnalistik adalah “novelty” (kebaruan).
Sebagai orang Timor,
khususnya dari kampung Haumeni, saya terkadang malu dengan rekan yang berasal
dari budaya lain. Karena mereka sangat getol dalam menganggit atau menulis
kebudayaan setempat di mana mereka berasal. Sementara saya hanya menjadi
penikmat.
Seolah-olah, saya tidak
bisa berbuat apa-apa untuk kampung halamanku. Saya tak punya banyak materi,
tapi melalui passion saya di dunia kepenulisan, saya selalu mengabadikan
kebiasaan setempat saya. Tujuannya adalah jejak saya bisa dilacak oleh sejarah
dan generasi yang akan datang.
Mustahil kita hebat di
tanah rantau, tapi daerah atau kampung kita tak diperkenalkan ke publik. Sama
halnya kita menjadi anak durhaka. Gegara keenakan menikmati madu di tanah
rantau.
Perayaan R.A.Kartini hari
ini bukan hanya soal kesetaraan gender bagi kaum perempuan. Melainkan kita
jadikan momentum ini, sebagai ajang untuk kembali berefleksi akan kehidupan
yang sudah kita jalani sejauh ini.
Merefleksikan bagaimana
peran andil kita di kampung halaman? Apa saja hal positif yang kita tinggalkan
untuk kampung halaman?
Momentum perayaan R.A.Kartini mengajak kita untuk mencintai budaya di mana kita berasal. Bukan berarti kita anti budaya luar. Tapi, lebih baik kita mencintai budaya sendiri, ketimbang membangga-banggakan kebudayaan luar. Bersama R.A.Kartini, kita belajar untuk mengenali diri dari mana asal kita? Apa tujuan hidup kita? Untuk apa kita hidup?
Salam tafenpah
Posting Komentar untuk "Bersama Kartini Kita Belajar Dari Mana Asal Kita?"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat