Unity in Diversity
Unity in Diversity (Bhineka Tunggal Ika). Merdeka.com |
Sebuah realita hidup yang tidak bisa disangkal dan ditentang oleh setiap warga negara Indonesia adalah bahwa bangsa ini terbentuk atas dasar semangat unity in diversity, persatuan dalam keanekaragaman. Kemajemukan bangsa Indonesia tidak terbatas pada manusianya secara persona saja tetapi juga secara communal.
Hadirnya agama-agama besar di dunia seperti, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu dalam bumi Pertiwi ini merupakan bukti yang tak terbantahkan tentang keberagaman. Hal ini tentu bukan untuk menciptakan keseragaman dalam bangsa melainkan tetap pada prinsip keberagaman di bawah payung “Bhineka Tunggal Ika”, sebagai semboyan dasar negara Indonesia (Boelaars:2005,33).
Intervensi Pancasila sebagai dasar sekaligus ideologi bangsa dalam kehidupan beragama di Indonesia sangatlah signifikan dalam hidup menegara dan bernegara. Pancasila hadir sebagai wadah yang menyatukan setiap perbedaan terutama dalam hal kepercayaan akan Sang Ilahi.
Bahkan dalam sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan yang Maha Esa, seyogyanya telah menyatukan pluralisme agama di Bumi Pertiwi ini. Di dalam sila inipun tampak jelas keyakinan para proklamator kemerdekaan Republik Indonesia akan keberbedaan yang memperkaya, membangun dan bukannya memecah-belah bangsa apalagi menciptakan ‘gap-gap’ ringan antar kelompok.
Namun, bila dirunut kembali ke belakang inventarisasi sejarah lahirnya Pancasila beserta sila-silanya rupanya memuat kontroversi. Perbedaan ide dalam menafsirkan setiap sila terlebih sila Ketuhanan yang Maha Esa menjadi alasan lahirnya kontroversi. Seperti dipaparkan Huub J. W. M. Boelars bahwa dalam piagam Djakarta, telah dilakukan revisi sila pertama dari “dengan kewajiban menjalankan syarat-syarat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”, versi Mohammad Hatta yang kita gunakan hingga detik ini. Tafsiran atau usulan wakil presiden RI pertama ini kemudian diterima baik oleh semua warga negara Indonesia sebab memperhatikan unsur-unsur keanekaragaman bangsa (Boelaars:2005,38).
Di sini tampak jelas peran andil Pancasila dalam menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada dalam tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian tidak ada ‘tubuh’ yang berdiri sendiri melainkan semuanya menyatu menjadi satu-kesatuan yang utuh, unity in diversity. Adanya penyatuan dari setiap ‘tubuh’ inilah yang kemudian dirumuskan ulang dalam sumpah pemuda, “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” (Boelaars:2005, 32). Karena itu, tindakan-tindakan diskriminatif dan intoleran dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia tidak memiliki tempat.
Sebagai warga negara Indonesia kita dipanggil untuk mendukung dan menjaga cita- cita mulia ideologi negara ini terutama butir sila pertama tadi dengan ‘via’ menerjemahkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap gerak hidup masyarakat. Sebab itu, pluralisme agama di Indonesia menurut Dalai Lama hendaknya dipandang sebagai ‘obat’ untuk menyembuhkan penyakit diskriminatif dan intoleran yang seringkali menjadi problema tanah air.
Pernyataan demikian, menunjukan bahwa ada sejuta obat yang bisa menyembuhkan satu penyakit. Artinya, bahwa adanya persamaan tujuan, yakni menyembuhkan sekalipun jenis obatnyaberbeda (Mitchell: 2011, 19-20). Singkatnya, Pancasila akan terus hidup ketika kita menghidupi nilai-nilai yang termaktub di dalamnya. Begitupun sebaliknya, Pancasila akan mati dengan sendirinya ketika kita mengabaikan semua sila Pancasila. Kita Pancasila!
Ex Pluribus Unum!
Penulis; Kristo Ronaldo Suri Mahasiswa Filsafat Unwira - Kupang |
Posting Komentar untuk "Unity in Diversity"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat