Rekonstruksionisme: Arah Baru Pendidikan Kritis Indonesia
Memora |
Penulis: Andi Darman | Editor: Fredy Suni
MALANG, Tafenpah.com - Peserta didik Indonesia sekarang mengalami degradasi pengetahuan kritis yang dikembangkan di setiap lembaga pendidikan.
Degradasi pengetahuan kritis ditandai dengan banyaknya peserta didik lemah dalam cara pikir, moral dan karakter. Akibatnya, pengaruh negatif dari budaya luar seperti gaya hidup materialisme, westernisasi, hedonisme, intoleransi, rasis, anarkis, borjuis dan sebagainya mudah melekat dalam diri. Mereka tidak memiliki pengetahuan kritis untuk mengambil jarak, bersikap skeptik, dan mampu membuat penilaian yang tepat terhadap pengaruh negatif dari luar.
Baca Juga: Yuk, Gunakan Twibbon HARDIKNAS Komen Lida guys!
Dampak negatif dari budaya luar sudah pernah diantisipasi oleh Presiden Joko Widodo dengan mengembangkan semangat revolusi mental bagi peserta didik Indonesia.
Revolusi mental dikembangkan Presiden untuk menciptakan paradigma dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya Indonesia.
Tiga dimensi yang ditekankan oleh Presiden dalam semangat revolusi mental, yakni peserta didik yang sehat, cerdas, dan berkepribadian.
Presiden Jokowi mengharapkan peserta didik Indonesia memiliki sikap empati, suka menolong, tanggung jawab, dan saling menghargai perbedaan sebagai mental yang baru.
Pendidikan Rekonstruksionisme
Pixels |
Pendidikan rekonstruksionisme dikembangkan Tan Malaka (1896-1949) bagi peserta didik Indonesia pada zaman kolonial Belanda. Pendidikan rekonstruksionisme merupakan salah satu aliran filsafat pendidikan yang merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan kehidupan baru yang bercorak modern. Kebudayaan yang bercorak modern yang dimaksud adalah tata susunan kehidupan manusia yang dibangun dengan pengetahuan kritis, bukan sensibilitas.
Tan Malaka mengembangkan pendidikan rekonstruksionisme kepada muridnya pada zaman kolonial Belanda untuk membangkitkan jiwa perlawanan terhadap sikap imperialis-kapitalis pemerintah Belanda. Ia melihat kelakuan dari pemerintah Belanda lebih kejam dari feodal terhadap masyarakat Indonesia.
Banyak masyarakat yang kelas sosial rendah diperlakukan sebagai mesin produksi yang menghasilkan komoditi bagi pemerintah Belanda. Masyarakat Indonesia mengalami pengalaman alienatif dalam bangsa sendiri akibat sistem kolonialisme-imperialisme-kapitalisme Belanda.
Karena itu, orientasi utama pendidikan Tan Malaka adalah membangun kesadaran kritis peserta didik dalam membangkitkan jiwa perlawanan atas praktik imperialis-kapitalis
Belanda di Indonesia. Menurutnya, pengetahuan kritis menjadi cara tertinggi dalam peradaban manusia Indonesia untuk hidup di masa depan yang lebih baik dan bebas dari pengaruh negatif bangsa asing. Peserta didik dilatih untuk berpikir kritis, memiliki mental keberanian, dan mempraktikakan ilmunya dalam membangun perubahan sosial yang lebih modern.
Selain membangun kesadaran dalam mengembangkan pengetahuan kritis kepada peserta didik, Tan Malaka juga mengubah sistem pendidikan sesuai konsep rekonstruksionisme. Ia merancang kurikulum dengan menekankan pada pengetahuan kritis, sosial dan praktis. Dua tujuan utama dari kurikulum Tan Malaka, yakni menciptakan peserta didik yang memiliki sifat yang dibutuhkan industri dan peserta didik yang hidup sesuai dengan nilai-nilai budaya Indonesia yang kritis, empati, toleransi dan humanis.
Peserta didik sekarang mestinya dibentuk berdasarkan pendidikan rekonstruksionisme dari Tan Malaka. Pertama, peserta didik memiliki kedasadaran kritis untuk menciptakan tatanan sosial bangsa yang lebih adil dan sejahtera. Peserta didik harus menjadi manusia yang lebih baik dalam negeri sendiri. Kedua, peserta didik memiliki kesadaran untuk menjadi agen utama dalam rekonstruksi tatanan sosial, politik, ekonomi, dan agama.
Mereka harus menjadi penggerak utama pencerahan terhadap berbagai macam masalah dan menjadi agitator utama perubahan sosial. Keempat, pendidikan formal mesti tak terpisahkan dari solusi sosial dalam menghadapi krisis bangsa Indonesia. Pendidikan formal harus mengajarkan perubahan sosial.
Kurikukum Pendidikan Nasional sekarang juga mestinya bercorak rekonstruksionisme untuk meningkatkan pengetahuan kritis peserta didik. Menurut saya, kurikulum Indonesia dari tahun 1947 sampai 2013 lebih menekankan pada pendidikan perenialisme dan esensialisme. Perenialisme menekan kepada peserta didik untuk mempelajari teks-teks yang ditulis oleh para ahli pada masa lampau. Mereka berusaha menghafal isi teks tersebut dan memakai pemikiran mereka untuk menafsirkan peristiwa yang terjadi dalam masyarakat.
Contoh yang paling jelas itu pendidikan agama. Sedangkan esensialisme mendorong peserta didik untuk memahami konsep, prinsip-prinsip dan teori-teori ilmiah dari berbagai bidang studi. Dampak negatifnya, peserta didik hanya menjadi transfer knowledge dari luar.
Penekanan kurikulum pada pendidikan rekonstruksionisme menjadi instrumen yang penting dalam meningkatkan pengetahuan kritis peserta didik. Dalam rekonstruksionisme, peserta didik didorong untuk berpikir kritis, melakukna riset, berkreasi secara bebas, terbuka dalam berpendapat, dan mampu mendialogkan segala fenomena sosial untuk kematangan intelektual. Intelektual yang matang memudahkan peserta didik dalam menganalisis secara kritis, memilih dan mengambil keputusan dengan benar dalam hidup.
Rekonstruksionisme juga mampu mengembalikan peserta didik pada kesadaran nasionalisme, gotong-royong, humanis, dan toleransi sesuai dengan budaya Indonesia. Mereka tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang negatif dari luar dirinya.
Posting Komentar untuk "Rekonstruksionisme: Arah Baru Pendidikan Kritis Indonesia"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat