Politik Pengakuan dalam Negara Multikultural
Ilustrasi gambar; Pixels |
Penulis: Andi Darman | Editor: Fredy Suni
Tafenpah.com - Indonesia merupakan negara multikultural dengan tiga karakter yang menonjol, yaitu populasi umat muslimnya terbesar di dunia, luas wilayah geografisnya, dan keragaman etnis dan budayanya.
Multikulturalitas menjadi sumber kekayaan bangsa yang tak banyak dimiliki oleh bangsa lain. Akan tetepi, multikulturalitas seringkali tidak dianggap sebagai keniscayaan yang dimiliki oleh bangsa.
Banyak konflik horizontal berupa sentimen terhadap perbedaan agama yang terjadi dalam bangsa karena ketidaksiapan dalam menerima multikulturalitas.
Baca Juga: JPIC Keuskupan Ruteng: Berdoa saja tidak Cukup Menyelesaikan Isu Sosial
Sentimen terhadap perbedaan agama, rupanya menjadi persoalan utama dalam bangsa Indonesia. Perbedaan tidak pernah dianggap sebagai keniscayaan yang menjadi kekayaan bangsa. Tetapi, justru menjadi pemecah belah.
Setiap agama selalu ada orang yang mengajarkan eksklusifitas golongannya. Hal ini menjadi nyata ungkapan dari Karl Marx, agama merupakan sumber alienasi.
Agama minoritas seringkali menjadi korban alienasi. Mereka tidak didengarkan dan sering menerima perlakuan ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan itu, agama menjadi salah satu faktor penyebab munculnya disintegrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo mengatakan, hingga saat ini, pendirian Gereja di Indonesia mengalami kesulitan dalam hal perizinan. Kesulitan pembangunan Gereja menunjukkan adanya sentimen dari agama mayoritas terhadap agama minoritas.
Pada Oktober 2019, kasus gugatan izin mendirikan bangunan (IMB) renovasi gereja Katolik, Paroki St. Yoseph Karimun, Kepulauan Riau. Para penggugat meminta untuk tidak mendirikan bangunan gereja setinggi melebihi rumah dinas bupati.
Mereka juga melarang untuk memasang ornamen seperti salib dan patung Bunda Maria di halaman gereja. Kasus tersebut menjadi contoh adanya penolakan terhadap identitas agama lain dalam bangsa Indonesia.
Penolakan terhadap identitas agama minoritas terjadi pula dalam perekrutan jabatan publik. Mayoritas seringkali memonopoli kedudukan jabatan dalam masyarakat, seperti bidang ekonomi, politik, dan pendidikan.
Sikap penolakan terhadap identitas agama minoritas sangat pesat, pasca kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama. Hasil survei yang bertajuk “Tren Persepsi Publik tentang Demokrasi, Korupsi dan Intoleransi,” mencatat mayoritas warga muslim keberatan untuk memberikan jabatan publik terhadap nonmuslim atau minoritas.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan 59 persen responden tidak menginginkan jabatan publik, seperti presiden, wakil presiden, gubernur, bupati atau walikota dikuasai oleh nonmuslim atau minoritas.
Jihad (violent extremism dalam pengertian Islamisme radikal) seringkali juga ditunjukkan kepada kelompok minoritas. Mereka menolak identitas dari agama lain untuk bertumbuh dalam kehidupan masyarakat.
Pada 28 Maret 2021 terjadi bom bunuh diri di depan gereja Katedral Makassar. Aksi jihad ini menyebabkan total korban luka 14 orang dan 2 orang meninggal dunia. Menurut penyelidikan dari pihak kepolisian, pelaku bom bunuh diri bernama Lukman dan istrinya Yogi Sahfitri Fortuna. Mereka melakukan jihad untuk mengembalikan Islam pada kejayaan khilafah Islamiyah dalam bangsa Indonesia.
Politik Pengakuan
Charles Taylor mengagas politik pengakuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih menghargai perbedaan identitas agama. Pengakuan terhadap identitas agama lain sangat berguna bagi realisasi atau pemenuhan diri (self-fulfillment or self realization) dari setiap pribadi dalam agama tersebut.
Pengakuan itulah yang menutup segala ruang buta terhadap keunikan masing-masing agama. Keunikan setiap agama tidak lagi dipandang sebagai ancaman, tetapi dilihat sebagai berkat yang tumbuh dalam bangsa Indonesia yang multikultural.
Absennya pengakuan terhadap agama lain membuat agama tersebut mengalami distorsi identitas, luka psikologis, dan bahkan mengalami kesengsaraan atau penderitaan dalam berbagai aspek kehidupan.
Misalnya kasus gugatan izin renovasi Gereja Katolik St. Yoseph Karimun, penolakan dalam memberikan jabatan publik kepada kelompok agama minoritas, dan aksi jihad yang dilakukan Lukman di Gereja Katedral Makassar.
Semua kasus tersebut merupakan absennya pengkuan terhadap agama minoritas dalam bangsa Indonesia. Agama minoritas kehilangan penghargaan positif atas keunikan identitas dalam bangsa Indonesia yang multikultural.
Absenya pengakuan terhadap agama minoritas tidak hanya merugikan bagi agama minoritas tersebut, tetapi juga bagi negara Indonesia.
Dengan itu, Taylor merasa pentingnya politik pengakuan untuk mengembalikan eksistensi dan membela diri minoritas dalam melawan tekanan asimilasi dari mayoritas. Politik pengakuan hadir untuk menutup ruang yang yang buta dalam negara multikultural. Karena pengakuan terhadap agama lain bukan sekedar tata krama atau sopan santun, melainkan kebutuhan vital dalam membangun negara yang harmonis.
Untuk mewujudkan pengakuan identitas setiap agama dalam bangsa multikultural, Taylor mengusulkan beberapa yang perlu disadari dan diperjuangkan bersama. Pertama, dialog dalam mencegah perilaku kekerasan dan diskriminasi terhadap agama lain.
Tujuan dialog ialah realisasi dan pemenuhan diri. Kedua, kesetaraan martabat manusia. Konsep ini mendorong manusia Indonesia untuk memerlakukan setiap orang sebagai manusia, terlepas dari perkara agama.
Ketiga, toleransi otentik yang tidak hanya soal merasa dan berpikir, melainkan soal bertindak untuk menerima kehadiran identitas agama lain.
Posting Komentar untuk "Politik Pengakuan dalam Negara Multikultural"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat