Fenomena Kelunturan Makna Belis, Sebuah Catatan Kritis Tentang Eksistensi Budaya Belis di Zaman Modern
Penulis: Hendrikus Dasrimin | Editor: Frederikus suni
Makna belis di zaman modern | Foto: Fredy Suni |
Tafenpah.com - Salah satu dari sekian banyak bentuk simbol adat yang dikenal dalam struktur masyarakat berbudaya adalah belis. Istilah belis biasanya digunakan di wilayah NTT, sedangkan secara umum lebih dikenal sebagai mas kawin.
Dalam bahasa Inggris belis mengacu pada kata brideprice atau bridewealth, sekalipun kedua istilah ini sering menimbulkan kontroversi di kalangan antropolog.
Pada umumnya, belis selalu diasosiasikan dengan pemberian sejumlah uang maupun barang pada upacara perkawinan. Masyarakat adat NTT memandang belis sebagai unsur penting dalam lembaga perkawinan.
Selain dipandang sebagai tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur, belis juga merupakan bentuk penghargaan terhadap martabat manusia dan sebagai pengikat pertalian kekeluargaan. Belis pun dianggap sebagai simbol untuk mempersatukan laki-laki dan perempuan sebagai suami istri.
Selain itu, belis juga
dianggap sebagai syarat utama pengesahan beralihnya keanggotaan suku seorang perempuan
ke suku suami. Bagi sebagian kelompok masyarakat, terutama para tetua di desa,
belis bukanlah suatu beban karena merupakan sebuah tradisi yang diyakini
manfaat dan kebaikannya, terutama dalam menjaga penghormatan terhadap martabat
manusia.
Bagi masyarakat NTT, belis merupakan bagian yang tidak terlepas dari kehidupan sehari-hari dan selalu muncul sebagai konsekuensi dari pelaksanaan adat istiadat setempat.
Dalam perkawinan adat, pemberian belis
menjadi prasyarat penting keabsahan perkawinan dan dimaknai sebagai simbol
pemersatu laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri, serta sebagai penghargaan
dan bukan kompensasi terhadap jasa orangtua calon mempelai perempuan yang telah
membesarkan anak mereka.
Sebagai bagian dari kebudayaan yang dinamis, tidak dapat dipungkiri bahwa belis pun terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dinamika itu bukan hanya terdapat pada berubahnya barang-barang material yang dijadikan sebagai bahan belis, melainkan terjadi pergeseran makna belis itu sendiri.
Dewasa ini, praktek pembelisan sudah mengalami erosi identitasnya yang hakiki.
Orang tidak lagi melihat belis sebagai sebuah bentuk simbolis yang memiliki
arti yang positif bagi kehidupan manusia, tetapi sebaliknya telah memandangnya
sebagai satu unsur negatif yang harus diberantas. Nilai simbolis belis sedang mengalami
degradasi.
Degradasi nilai simbolis ini nyata dalam cara pandang masyarakat. Belis telah dijadikan sebagai ajang pertarungan gengsi dan medan percaturan prestise. Semakin tinggi jenjang pendidikan dan derajat sosial seorang anak gadis, maka semakin tinggi besaranya belis yang akan diminta.
Seringkali
pihak pria harus berhutang untuk memenuhi besarnya permintaan keluarga
calon istri. Belis telah direduksi menjadi ajang penentu
jenjang kekayaan seseorang. Makin banyak belis yang dibawa, reputasi ekonomis seseorang
semakin meningkat.
Orang merasa kurang bermartabat bila belis untuk anak atau
keluarganya tidak sesuai dengan yang diharapkan atau yang ditentukan pihak
keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa materi dan kebendaan diutamakan, sedangkan
nilai kemanusiaan itu dinomorduakan. Sebagai akibat dari degradasi nilai simbolis
belis ini, maka banyak pihak menilai belis sebagai beban hidup yang perlu
diberantas.
Beban belis dalam kenyataannya dapat membawa permasalahan lanjutan. Persoalan-persoalan yang baru muncul berhubungan dengan beban belis adalah banyak perempuan tidak bisa kawin atau kawin waktu usia tua, kumpul kebo dan terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Budaya belis menjadi salah satu konstruksi sosial budaya
yang turut melahirkan kekerasan terhadap perempuan dalam masyarakat. Sebagai
konsekuensi lanjut dari fenomena ini, maka ada begitu banyak pasangan yang
kawin pintas atau
terjadi perceraian karena kekerasan dalam rumah tangga.
Meredefinisi Makna
Belis Sebagi Upaya Menyikapi Pergeseran Makna Belis
Foto: Fredy Suni |
Faktor fundamental yang menyebabkan belis dilihat sebagai suatu masalah adalah karena pada zaman sekarang orang lebih menekankan nilai barang material secara fisik tanpa memperlihatkan nilai simbolis yang ada di balik barang tersebut. Oleh karena itu perlu dibuat pembaharuan dalam belis.
Pembaharuan di sini adalah pemurnian nilai hakiki
belis dan penghargaan akan martabat manusia yang telah berurat akar dalam adat
kebudayaan. Praktek pembelisan tetap berlaku, tetapi motivasi yang tidak murni
harus dibersihkan sehingga menjadi lebih sempurna dan benar.
Dalam situasi hidup saat ini, perlu dibuat upaya meredefinisi nilai-nilai simbolis belis, bahwa belis bukanlah ajang pertunjukan prestise, komersialisasi belis harus dihilangkan, penekanan pada aspek komunal dan solidaritas harus diutamakan.
Sikap mengapresiasi nilai-nilai ini hanya bisa dilakukan oleh
manusia yang berbudaya. Kesadaran ini akan menggerakkan orang untuk menghargai
dan mencintai budaya sendiri tanpa diboncengi oleh pengaruh-pengaruh yang
berasal dari luar.
Meredefinisi makna belis adalah upaya menghargai martabat manusia yang sering dilecehkan dalam urusan belis. Upaya yang dapat ditempuh untuk meredefinisi makna belis ini adalah pertama-tama menyadari makna belis yang sesungguhnya.
Usaha lain sebagai realisasi praktis dari usaha yang pertama
tersebut adalah dengan tidak menuntut belis yang terlalu tinggi. Belis hanyalah
sebuah sarana yang dapat digunakan untuk mempersatukan hubungan cinta antara
seorang pemuda dan pemudi, dan bukan sebaliknya belis justru menghalang-halangi
perwujudan cinta yang telah ada.
Apapun bentuknya, bagaimanapun cara pembayarannya dan seberapapun besarnya, belis pada hakikatnya bernilai simbolis. Oleh karena itu yang seharusnya diutamakan di dalamnya bukan besarnya nilai nominal uang, barang dan hewan yang diberikan, melainkan interaksi kekeluargaan dan aktus pemberian secara timbal-balik antara pihak keluarga calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan, serta keluhuran ikatan perkawinan antara keduanya.
Selain itu, yang seharusnya
diutamakan bukan tinggi-rendah
atau besar kecilnya belis, melainkan cinta, kesediaan, ketulusan dan
penghargaan yang diberikan oleh kedua pihak keluarga satu terhadap yang lain, lewat
belis yang bernilai mulia dan transendental dalam perkawinan tersebut. *) Hendrikus Dasrimin
Posting Komentar untuk "Fenomena Kelunturan Makna Belis, Sebuah Catatan Kritis Tentang Eksistensi Budaya Belis di Zaman Modern"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat