Racikan Mega Proyek Amore Prime School dalam Pemikiran Filsuf Ernst Cassirer, Friedrich Wilhelm Nietzsche dan Martin Heidegger
Penulis: Fredy Suni
Racikan mega proyek Amore Prime School Tangerang | Foto: Fredy suni |
Banten,
Tafenpah.com – Melalui goresan sejarah, kita mengenal masa lalu. Dari masa
lalu, kita belajar dan merawat apa yang tersadari maupun yang tidak tersadari.
Tujuannya kita bisa dengan leluasa mengejar sejuta mimpi yang masih berada di
dalam kolam pikiran kita.
Senada dengan fondasi bangunan baru Amore Prime School yang hampir jadi.
Bangunan baru Amore Prime School |@Fredy Suni |
Sejarah
memiliki kedudukan yang sangat penting dalam diri setiap orang.
Merujuk pada epistemologi filsuf kebudayaan Yunani, Ernst Cassirer bahwa untuk mengenal manusia dan dinamikanya, cara yang paling tepat adalah melalui kajian budaya.
BACA JUGA: Keseruan Peserta Didik Amore Prime School di Haornas 2022
Karena dalam kebudayaan, manusia dapat bertindak dan ber-actio dalam bidang apa pun.
Lantas, di manakah letak korelasi antara pemikiran filsuf Ernst Cassirer dengan fondasi bangunan Amore Prime School?
Sejauh pengamatan Penulis, letak persaman dari kedua entitas tersebut ada pada simbol.
Apa itu simbol? Makna simbol kebudayaan Amore Prime School termanivestasi dalam setiap sudut bangunan.
Karena bangunan merupakan simbol kebudayaan sekaligus sebagai komunikasi budaya dari ke-4 fonder di atas.
BACA JUGA: Akreditasi SD Amore Prime School dari BAN - SM Provinsi Banten
Hasil dari elaborasi tersebut ada dalam diri peserta didik Amore Prime School yang datang dari berbagai latar belakang keluarga, etnis, kepercayaan, dan kepentingan.
Meskipun peserta didik sangat beragam, namun mereka semua disatukan dengan visi dan misi dari Amore Prime School, yakni;
Visi; Membentuk anak menjadi manusia yang mempunyai perasaan cinta kasih terhadap sesama dan selalu mewujudkannya dalam kehidupan harian.
Sedangkan, Misi; Menciptakan kesempatan belajar secara menyeluruh pada anak tanpa memandang status keadaan sosial dan agam.
- Memperjuangkan hak belajar setiap anak
- Membangun jembatan hati antara anak, orang tua, dan masyarakat.
Racikan Mega Proyek Amore Prime School dalam Pemikiran Filsuf Ernst Cassirer, Filsuf Friedrich Wilhelm Nietzsche dan Martin Heidegger
Filsuf
Friedrich Wilhelm Nietzsche dan Martin Heidegger melihat “Nihilisme yang
berarti proses di mana pada akhirnya tiada lagi yang tersisa.”
Melepaskan
yang tertinggal dalam sejarah perjalanan apa pun, ibarat kita melepaskan
mutiara-mutiara terpendam di dasar samudera kehidupan.
Dalam
konteks ini, Lembaga Pendidikan Kebudayaan Amore Prime School terus berkembang.
Perkembangan itu, bukan hanya pada kualitas dan kuantitas peserta didik.
Tetapi
dukungan sarana dan prasarana pun sangat penting dalam menunjang aktivitas
pembelajaran peserta didik, tenaga pengajar serta stakeholder internal dan
eksternal selama berada di lingkungan sekolah.
Untuk
mengabadikan sejarah singkat berdirinya bangunan baru Amore Prime School, Penulis mencoba untuk meramu, alias meracik pemikiran-pemikiran dari para Filsuf Yunani dan mengkonseptualisasikan pengalaman riil Penulis selama berada di lingkungan tersebut.
Tujuannya agar Penulis dan pembaca budiman bisa mengikuti kerangka berpikir (metodologi), di balik sajian artikel sederhana ini.
Pertama; Ernst Cassirer meletakkan kebudayaan sebagai usaha manusiawi untuk memahami diri sendiri dan mengatasi berbagai persoalan melalui akal budi dan penggunaan simbol-simbol.
Di balik bangunan berlantai 5 Amore Prime School, ada hujan air mata dari Ibu Yasinta, dkk.
Karena perjuangan untuk mendirikan fondasi bangunan tersebut, sejatinya sudah lama dalam draft mereka.
Namun, karena ada satu dan lain hal yang perlu diberesin, maka impian untuk mendirikan bangunan yang akan digunakan peserta didik Sekolah Menegah Atas (SMA) baru terlaksana di tahun ini.
Kedua, Filsuf Friedrich Wilhelm Nietzsche melihat Nihilisme sebagai proses di mana tiada lagi yang tersisa.
Artinya, sejarah perjuangan di balik bangunan Amore Prime School bila tidak diabadikan dalam bentuk tulisan apa pun, niscaya suatu saat, makna perjuangan itu akan hilang, lenyap, sirna dari hadapan kita, khususnya Alumni maupun peserta didik yang sementara mengenyam pendidikan humanistik maupun mereka yang akan merajut masa depan pendidikan mereka di Amore Prime School.
Ketiga, Filsuf Martin Heidegger kurang lebih juga menekankan hal yang sama dengan Nitzsche.
Akan tetapi di sini, Penulis lebih menekankan konsep pikirannya, yakni; segala sesuatu itu ada waktunya.
Lantas apa itu waktu? Karena waktulah yang menciptakan segalanya melalui usaha manusia, dan pada saat yang bersamaan pula, waktulah yang mengakhirinya.
Untuk itu, tidak berlebihan, bila Penulis memaknai perjuangan dari ke-4 founder di atas dalam spirit; 'Sense of Being (rasa keberadaan), Sense of Belonging (rasa memiliki), Sense of Love (rasa mencintai), dan Sense of History (rasa sejarah).'
Dari ke-4 sense tersebut, rasa sejarah (sense of History) adalah salah satu hal yang saat ini sedang dikerjakan oleh seluruh stakeholder internal Amore Prime School.
Tujuannya ada pengabadian sejarah bangunan Amore Prime School dalam mendidik generasi bangsa yang bukan hanya pandai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Melainkan, mereka juga memiliki sense of human (rasa kemanusiaan) di mana nantinya mereka berkarya.
Akhirnya, konseptualisasi pemikiran ini pun menyatu kembali dengan visi dan misi dari Amore Prime School.
Jakarta, 24 September 2022 | Frederikus Suni (Fredy Suni) | Karyawan Amore Prime School
Posting Komentar untuk "Racikan Mega Proyek Amore Prime School dalam Pemikiran Filsuf Ernst Cassirer, Friedrich Wilhelm Nietzsche dan Martin Heidegger"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat