Membaca Fenomena Sekolah Jam 5 Pagi, Ibarat Adu Argumen Antara Filsuf Albert Camus dan Sartre
Fredy Suni
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat | Foto; Fredy Suni |
Di mana, Jean - Paul Sartre mengatakan, "Aku Berpikir, Maka Aku Ada." Sebaliknya, Albert Camus berkata, "Aku memberontak, Jadi Aku Ada."
Meminjam istilah Sartre, tentu saja saya melihat dalam diri gubernur VBL. Lalu, masyarakat yang kontra ada dalam diri Albert Camus.
Gubernur Viktor berkata,"Aku menerapkan kebijakan ini, karena untuk memperbaiki kualitas sumber daya manusia NTT ke depan."
Sebaliknya, masyarakat berkata,"Kami tidak menyetujui kebijakan gubernur, karena kami tidak ingin anak-anak kami mengalami sesuatu yang tak diinginkan di waktu matahari belum terbit di kota Kupang."
Jika kedua kelompok pro dan kontra ini tidak menyatukan pendapat, maka tak bisa dipungkiri, keadaan sosial di NTT akan terus memburuk. Karena iri hati dan berbagai hal yang tak semestinya diungkapkan kepada publik.
Baca Juga: Alasan Seseorang Menghabiskan Waktu Luang di Kedai Kopi
Namun, bila ada kerendahan hati untuk menerima masukan dari berbagai pihak, percayalah keadaan sosial yang gaduh saat ini akan kembali kondusif.
Maka dengan demikian, kita akan sampai pada penyatuan ide dari kedua filsuf besar sejarah, yakni: Albert Camus dan Jean - Paul Sartre, yakni sama-sama menerima dan memperbaiki apa yang salah di antaranya.
Hal demikian juga berlaku bagi kelompok pro dan kontra yang ada di NTT, terlebih soal kebijakan sekolah jam 5 pagi.
Sekolah Jam 5 Pagi sebagai Persiapan Siswa Menuju Perguruan Tinggi dan Dunia Kerja
Di tengah badai layoff atau pemutusan karyawan di perusahan teknologi dunia dan dalam negeri, Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat menerapkan kebijakan sekolah jam 5 pagi di dua sekolah unggulan, yakni SMA 1 dan SMA 6 Kupang.
Dampak dari kebijakan gubernur VBL ini akan dirasakan oleh siswa-siswi, ketika mereka memasuki dunia perguruan tinggi/universitas maupun dunia kerja.
"Anak-anak ini disipakan untuk terjun langsung ke masyarakat. Baik menuju perguruan tinggi maupun langsung bekerja. Kalau tidak dipersiakan akan menciptakan pengangguran baru" ujar Viktor Bungtilu Laiskodat, saat menyambangi SMA 6 Kupang, Jumat (3/3/2023).
Dalam hal ini, cobalah sebagai pembaca yang baik dan sudah merasakan pahit dan manisnya dunia kerja ataupun situasi di perguruan tinggi untuk lebih bijak dalam melihat fenomena tersebut.
Baca Juga: Noelbaki dan Sejarah Hel Keta dalam Pandangan Filsuf Baruch de Spinoza
Pasalnya, lingkungan kerja, terlebih soal waktu itu tak menentu. Jika saat ini ataupun tengah malam pimpinan perusahaan meminta kita untuk menyelesaikan salah satu bagian yang benar-benar penting, tak ada pilihan lain, selain kita harus menyelesaikannya.
Hal ini juga berlaku di dunia perguruan tinggi. Di mana, tugas atau pun sejenisnya dari dosen dan pada saat yang bersamaan harus diselesaikan dan dikumpulkan, tentu saja kita akan melakukannya.
Meskipun jengkel, marah, dan lainnya. Namun, percayalah di balik proses demikian, pasti ada jejak yang baik di masa depan.
Itulah serpihan inspirasi yang kita dapatkan dari kebijakan gubernur VBL.
Posting Komentar untuk "Membaca Fenomena Sekolah Jam 5 Pagi, Ibarat Adu Argumen Antara Filsuf Albert Camus dan Sartre"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat