Basmi Oligarki di Indonesia Dengan SAHS
Penulis: Patrianus Densi Dewa Panggo, CMF
Frater: Patrianus Densi Dewa Panggo, CMF |
Tafenpah.com - Belakangan ini pembicaraan tema oligarki terus mencuat dalam kancah publik. Terutama ketika menjelang pilpres dan juga rancang PERPU baru. Di mana kita melihat beranda-beranda media diramaikan oleh agenda-agenda parpol juga diskusi-diskusi serta debat terbuka di hadapan publik.
Pertanyannya mengapa orang-orang begitu getol
membicarakan oligarki pada momen-momen menjelang pesta akbar demokrasi? Tentu
ada alasan mendasar sampai memunculkan
tema oligarki dalam diskusi publik. Namun sebelum berlangkkah lebih jauh ada
baiknya jika kita mengetahui arti oligarki itu sendiri.
Oligarki secara leksikal berasal dari kata bahasa
Yunani Oligarchia, yakni Oligoi (sedikit), dan arkhein (memerintah).
Dengan demikian oligarki diartikan sebagai pemerintahan oleh yang sedikit,
dengan kata lain bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan
minoritas. Jeffrey A. Winters seorang ilmuwan politik Amerika dan profesor di
Northwestern University mencoba memberikan defenisi mengenai oligarki. ia
menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki
memilki dasar kekuasaan kekayaan material yang sangat susah untuk dipecah dan
seimbangkan. Kedua oligarki memiliki jangkauan yang luas dan sistemik,
meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas (Winters, 2011:1).
Menurut Winters teorisasi dimulai dari adanya fakta
bahwa ketidak-setaraan material yang ekstrem menghasilkan ketidak-setaran
politik yang ekstrem pula. Meskipun dalam demokrasi, kedudukan dan akses
terhadap proses politik dimaknai setara, akan tetapi kekayaan yang sangat besar
di tangan minoritas menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah
politik pada gologan tersebut. (Riswanto, 2020:187)
Dari penjelasan singkat Winters ini secara sederhana
kita dapat memahami bahwa ada dua model oligarki yakni, oligarki dalam ranah
politik dan oligarki finansial. Oligarki poltik dimana suatu kekuasaan
dikendalikan oleh orang-orang yang memiki kapasitas intelektual yang lebih dari
masayarakat pada umumnya dan mempunyai status jabatan yang istimewa. Sedangkan
oligarki finansial adalah mereka yang memilki material (uang) yang banyak dan
kemudian meremot orang lain dalam hal ini pemerintah untuk menjalankan
proyek-proyek individu maupun komunitas tertentu. Akan tetapi jika diteropong
lebih jauh ke belakang tampaknya oligarki finansial yang menjadi dasar untuk
mekarnya oligarki politik.
Fakta kuat yang bisa membuktikan bahwa dasar oligarki
politik adalah uang bisa dilacak dalam corak dan tipologi oligarki di
Indonesia. (Kompas 16/09/2021) baik
di masa Presiden Soekarno maupun era Presiden Soeharto agaknya praktik oligarki
politik dan oligarki finansial beleum terlalu eksis atau meluas. Presiden
Soekarno dalam masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) menjadi “penguasa tunggal”;
mengambil semua keputusan praktis terpusat pada dirinya. Sejak masa Presiden
Soeharto mulai berkembang gejala oligarki finansial. Mereka adalah super rich dengan korporasi besar yang
dekat dengan presiden Soeharto
Menurut institute Otda (2021), biaya calon
Pilkada/pemilu 2019: caleg lokal DPRD kabupaten/kota antara Rp 500 juta
dan Rp 1miliar; calon bupati/wali kota
Rp 10 miliar sampai Rp 30 miliar; calon gubernur Rp 30 miliar sampai Rp 100
miliar; dan calon presiden sekitar Rp 5 triliun sampai 20 triliun.
Liberalisasi politik dengan bermacam pemilu membuat
posisi oligark cukong secara finansial dan politik terus menguat. Oligark super
kaya dan kaya juga kian banyak yang menjadi politisi—membuat mereka sekaligus
oligar politik. Sebaliknya, oligark politik yang semula kere kemudian menjadi oligark kaya. Oligark politik dan oligark
cukong selalu menimbulkan dampak negatif terhadap demokrasi dan penegakan
hukum—kasus tergamblang adalah pelemahan KPK. Oligark selalu berusaha agar
proses legislasi dan penegakan hukum tidak merugikan mereka; sebaliknya mesti
menguntungkan dan menjadikan posisi mereka dalam oligarki politik dan oligarki
ekonomi-finansial tetap dan kian kuat.
Melihat kenyataan oligarki yang kian menjamur dalam tubuh corak politik di Negara Indonesia tentu sangat meresahkan. Bahkah jika dibiarkan secara terus menerus fenomena ini akan mengancam demokrasi di Indonesia. Sebagai warga negara dengan berasaskan Pancasila kita mesti sepakat bahwa oligarki harus dibasmikan. Mengapa oligarki harus dibasmi? Sebab ia adalah bentuk penjajahan berwajah baru. Penjajahan tidak lagi dalam kerja paksa secara terang-terangan tetapi lewat sistem yang cukup teratur dan sulit diketahui oleh masyrakat umum. Dengan demikian oligarki bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila terlebih pada sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” dan rumusan UUD 1945 “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Bagaimana cara membasmi oligarki di Indonesia? Di sini saya mecoba mengambil empat Prinsip Mahatma Gandhi (1869-1948) sebagai senjata untuk membasmi oligargi yakni dengan SAHS; Satyagraha, Ahimsa, Hartal, dan Swadesi. Prinsip-prinsip ini digunakan Gandhi dalam melawan kolonialisme Ingris. Pertama adalah Satyagraha prinsip nonkooperasi atau penolakan kerja sama dengan kaum penjajah. Kedua Ahimsa tidak menyakiti melawan tanpa kekerasan. Ketiga Hartal mogok kerja menghentikan segala urusan dagang atau kegiatan ekonomi, memboikot, dan keempat Swadesi merupakan prinsip cinta tanah air. Ditujukan dengan suatu pengabdian diri kepada negara dan untuk kemanusiaan (4 Prinsip Perjuangan Mahatma Gandhi: Satyagraha hingga Swadeshi (tirto.id))
Membaca secara sekilas prinsip Gandhi ini tentu kita merasa kurang yakin dan rasanya sangat tidak cocok jika diterapkan di Indonesia terutama dalam melawan oligark. Akan tetapi pertama-tama kita harus menyadari terlebih dahulu bahwa oligarki adalah model penjajahan baru. Mereka menyusup dalam tubuh pemerintahan untuk lebih mudah menentukan kebijakan-kebijakan maupun PERPU, sehingga kebijakan-kebijakan itu meringankan bisni-bisni ataupun perusahan-perusahan mereka yang sedang beroperasi. Dengan demikian wajib pajak perusahan atau apapun segala keterkaitan tanggung jawab perusahan mereka terhadap negara diringankan bahkan dibebaskan, dan tujuan mereka tidak lain adalah untuk memperkaya diri, keluarga maupun komunitasnya.
Dengan demikian empat prinsip Gandhi
ini tentu bisa menjadi “obat pembasmi” oligarki di Indonesia. Menolak kerja
sama terhadap mereka dalam segala bentuk meskipun sedikit sulit sebab mereka
memiliki modal yang tebal. Menolak kerja sama artinya kita tidak mau tunduk
apalagi budak dalam system mereka.
Menolak kerja sama tidak harus
digunakan lewat jalan kekerasan seperti menurunkan masa dan melakukan demo yang
pada ujungnya terjadi pembakaran dan tindakan anarkis lainnya. Dan ini adalah
kenyataan yang paling sering terjadi di tanah air ini dimana kita melihat
kegilaan masa yang membabi buta dalam demo, selain itu masyarakat adat yang
berperang melawan perusahan dan lain sebagainya.
Tolak kerja sama juga bisa lewat mogok kerja. Hal semacam ini boleh dikatakan the silence war melawan dalam diam. Strategi ini meskipun dilakukan dengan “diam” tetapi sangat mematikan oligarki. Sebab dengan mogok kerja bisnis dan perusahan mereka akan kehilangan modal bahkan bisa ambruk. Prinsip keempat ini menjadi penting karena Gandhi mengingatkan kita bahwa kemanusiaan yang menjadi hal utama dan tentunya ini sangat bertolak belakang dengan praktik oligark, mereka justru merendahkan kemanusiaan orang lain meskipun tidak secara terang-terangan. Dan sekali lagi prinsip keempat ini sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Sebagai warga negara Indonesia yang berpayung pada Pancasila dan UUD 1945 kita sepakat bahwa oligarki mesti harus dibasmi dari tubuh pemerintah NKRI karena sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD. Selain itu negara perlu membatasi ruang gerak para oligar dan bila perlu menghukum sesuai prosedur yang berlaku.
Posting Komentar untuk "Basmi Oligarki di Indonesia Dengan SAHS"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat