Memahami Makna Tari Bonet Etnis Dawan Timor, Nusa Tenggara Timur

 

Ilustrasi tarian bonet di daerah TTS (Neno Anderias Salukh: Kompasiana.com)

Tafenpah.com - Tari Bonet melambangkan semangat persatuan etnis Dawan Timor yang menghuni wilayah kota Kupang, Timor Tengah Selatan/TTS, Timor Tengah Utara/TTU, Nusa Tenggara Timur/NTT, hingga sebagian wilayah Oekusi, Timor Leste.

 

Paduan irama terdengar merdu, kala masyarakat Dawan berpegangan tangan, sambil menggerakkan kaki ke depan, belakang, kiri, kanan, kemudian melantun syair pantun dalam bahasa Dawan, bernyanyi dan terus berputar dalam lingkaran.

 

Tari Bonet biasanya digunakan pada saat upacara adat, pesta kearifan lokal budaya setempat, menerima tamu penting, dan lain sebagainya.


 Baca JugaMengenal Suku Dawan Yang Mendiami Timor Barat


Sebagai tari persatuan masyarakat Dawan, tentunya siapa saja boleh mengikuti tari bonet, sejauh ada kemauan.

 

Selama berada di dalam lingkaran tari bonet, mereka yang tergabung dalam lingkaran persatuan itu merasakan kebahagiaan.

 

Karena antar satu dan lainnya saling menghormati. Di samping, melestarikan peninggalan leluhur etnis Dawan.

 

Baca JugaBahasa Dawan "Aku Cinta Kamu

Setiap daerah yang berada di Nusa Tenggara Timur memiliki kekhasannya tersendiri. Walaupun begitu, makna dari setiap tari tradisional itu melambangkan rasa kekeluargaan dan persatuan.

 

Sebagaimana dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Sama halnya, tari bonet juga melambangkan persatuan etnis Dawan.

 

Sebagai etnis Dawan, penulis dan pembaca yang berasal dari Timor juga sangat bangga dengan warisan kebudayaan leluhur.

 

Baca JugaMakna Leko Pah Tuan dalam Bahasa Dawan Timor NTT

Pasalnya, Tari Bonet juga sudah diakui oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada tanggal 4 Oktober 2017 silam.

 

Warisan kebudayaan Indonesia ini dalam pandangan filsuf Ernst Cassirer adalah manusia pertama-tama harus didekati dari budaya. Sebab pada kenyataannya manusia adalah makhluk yang membudaya yakni makhluk yang hidup dalam dan melalui unsur-unsur budaya itu sendiri. 

 

Lebih lanjut Ernst Cassirer menegaskan bahwa ciri utama dan khas manusia bukanlah kodrat fisik atau metafisikanya, melainkan karyanya. Ia harus menciptakan diri dan dunianya. Dengan demikian manusia bukanlah makhluk natural melainkan kultural (Sumber Tafenpah.com/ judul artikel Manusia SebagaiMakhluk Yang Membudaya (Sepercik Refleksi atas Ernst Cassirer).


Kembali pada konteks Tari Bonet, dewasa ini untuk mendekatkan generasi muda, khususnya generasi milenial dan generasi Z, pertama-tama adalah melalui simbol-simbol kebudayaan.

 

Salah satunya adalah Tari Bonet. Karena sebagai tari tradisional tertua suku Dawan ini, makin tergerus dengan perkembangan zaman.

 

Mengingat masifnya budaya Korea atau K-Pop telah mencuri perhatian generasi muda dengan ragam tariannya yang didesain sedemikian menarik, elegan, modern, dan pastinya berkarakter banget.

 

Jadi, sebagai antisipasi, pemerintah Provinsi beserta pemda dan swasta terus bersinergi dalam mengkampanyekan berbagai tari bonet dalam setiap kesempatan.

 

Bila memungkinkan, pemprov dan pemda mengadakan kompetisi tari bonet, muali dari antar SD hingga Perguruan Tinggi yang ada di NTT.

 

Tujuannya tak lain adalah tetap menjaga eksistensi tari bonet di tengah kecenderungan generasi muda yang lebih familiar dengan kebudayaan luar, ketimbang warisan leluhurnya sendiri.

 

Tentu saja, kita tidak boleh menyalahkan generasi muda. Karena memang inilah dunia keterbukaan.

 

Di mana, setiap kebudayaan berusaha untuk menyusuri setiap pojok kota hingga desa, demi memperluas pengaruhnya.

 

Minimnya literasi seputar Tari Bonet dan umumnya kebudayaan Etnis Dawan dalam berbagai publikasi website, blog, jurnal, dan karya tulis lainnya, terutama kreator konten NTT, menyebabkan defisit pengetahuan budaya leluhur bagi generasi muda.

 

Jika pun event kebudayaan Dawan diadakan oleh pemprov, pemda, organisasi, dan lembaga apa pun, tidak semua warga dapat mengaksesnya.

 

Akibatnya parade kebudayaan Dawan selama ini tak lebih dari pakaian formalitas para tuan dan nyonya yang berwewenang, entah dalam ruang lingkup pemprov maupun pemda.

 

Untuk itu, saatnya pemprov, pemda, praktisi pendidikan, pegiat literasi digital NTT bekerja sama dalam ragam konten, demi merawat dan melestarikan kebudayaan Dawan, di tengah perang ideologi, politik, ekonomi, sosial, politik, hiburan, dan budaya.


Sumber: Kemendikbud dan Tafenpah.com

Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Memahami Makna Tari Bonet Etnis Dawan Timor, Nusa Tenggara Timur"