Frater Ignasius Mano: Menelisik Problematika Nikah Usia Dini dalam Perspektif Ajaran Katolik dan Budaya Timor Dawan NTT
Penulis:Ignasius Mano | Editor: Frederikus Suni
Frater Ignasius Mano. Tafenpah.com |
Kupang, Tafenpah.com - Akhir-akhir ini, pernikahan di usia dini, menjadi trending dalam pembahasan di berbagai pihak, baik di dalam masyarakat, gereja maupun lembaga pemerintahan.
Ketiga pihak ini melihat dan prihatin karena pernikahan di usia dini dapat berpengaruh pada kehidupan berkeluarga di masa depan dan banyak pengambilan keputusan untuk menikah di usia dini tidak mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan mental.
Tentu saja, persoalan ini yang kemudian menyebabkan banyak keluarga hidup dalam ketidakharmonisan, perselingkuhan,dan
bahkan perceraian.
Dalam Gereja katolik pernikahan itu merupakan sesuatu yang sah dan sakral (Kudus)karna pernikahan termasuk dalam salah satu dari ketujuh sakramen yang diakui gereja jadi akan menjadi bermasalah jika yang sudah menerima sakramen ini dalam gereja katolik dan memutuskan untuk bercerai.
Namun realitas tidak dapat di pungkiri dimana banyak insiden -insiden pernikahan yang semakin hari semakin marak dibahas dalam medsos dan sepertinya sudah menjadi hal biasa jika seseorang bercerai dan memilih untuk mencari pasangan hidup yang baru. Dilangsir dari salah satu media online (REPUBLIKA) mencatat bahwa BKKBN menentukan batas usia ideal untuk menikah pada perempuan yaitu 21 tahun dan pada laki - laki 25 tahun.
Ditinjau dari aspek kesehatan, perempuan usia 21 tahun, organ reproduksinya secara psikologis sudah berkembang secara baik dan kuat serta siap melahirkan. Sedangkan dari aspek ekonomi, laki-laki umur 25 tahun sudah siap untuk menopang kehidupan keluarganya.
Penetapan pembatasan ini seperti tidak terhiraukan dari sebagian pihak masyarakat yang memiliki budaya dan anggapan bahwa dengan menikah di usia dini akan menambah perekonomian dan mengurangngi beban ekonomi keluarga dan lebih dari itu ada keluarga dengan angggapan bahwa jika anaknya menikah di usia dini dapat mencegahnya dari perawan tua semua anggapan ini menjadi konsumsi yang marak sehingga tidak salah jika pekawinan di usia dini setiap tahun mengalami peningkatan.
Jika melihat persoalan ini untuk mencari solusi maka hanya ada sedikit kemungkinan untuk dapat mengurangi tidak lebih pada suatu solusi yang pasti hal ini karna pihak-pihak yang menangani persoalan nikah di usia dini memiliki pandangan yang berbeda kita bisa bandingkan dari pihak pemerintah aturan tertulisya dan masyarakat setempat yang dengan budayanya yang sudah dihidupi bertahun- tahun dan lebih dari itu dengan pihak gereja.
Berkaitan dengan perbedaan ini ada realitas yang menunjukan bahwa benar-benar terjadi dimana banyak pasangan yang menikah di usia dini yang sudah menikah gereja (Berkat) ketika menghadapi permasalahan dalam keluarga dan berujung pada perceraian urusannya tidak kembali ke gereja tetapi justru ke pemerintah atau hanya melibatkan kedua keluraga pasangan(urusan adat) ini menjadi soal dan salah satu penyebab yang membuat orang beranggapan biasa saja, jadi ada pandangan yang muncul bahwa Gereja tidak mengijinkan untuk cerai pun urusan hukum bisa menyelesaikan proses perceraian dan adat juga dengan pandangan yang primitif tetap pada pendirianya juga membuat keputusan final.
Dari beberapa jurnal yang membahas tentang pernikahan di usia dini ada salah satu jurnal tulisan dari (Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty Sari Pediatri, Vol. 11, No. 2, Agustus 2009)yang membahas secara umum permasalahan dalam pernikahan anak di usia dini yaitu : faktor yang mendorong maraknya pernikahan anak, pengaruhnya terhadap pendidikan, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, dampak terhadap kesehatan reproduksi, anak yang dilahirkan dan kesehatan psikologi anak, serta tinjauan hukum terkait dengan pernikahan anak. Permasalahan-permasalahan ini menjadi tolak ukur bahwa pernikahan di usia dini adalah problematika yang perlu diselesaikan bersama.
Jika ditelusuri lebih dalam tentang nikah di usia dini maka akan lebih banyak di temukan di daerah- daerah yang memiliki dasar budaya adat yang kuat khusunya di NTT yang mana praktek nikah anak di usia dini direlatifkan bahwa harus cepat nikah sehingga tetap menjaga kelangsungan suku,keluarga dan lain hal lagi bahwa sehingga ambil belis khusunya (dalam budaya dawan) ini lebih kepada anak perempuan jadi tidak salah jika pendidikan untuk seorang perempuan khusunya daerah dawan hanya sebatas SMP, SMA dan jika berkuliahpun itu hanya sebagian orang.
Ini secara tidak langsung akan menambah angka peningkatan perikahan anak di usia dini.
Berhadapan dengan problematika nikah di usia dini maka penulis menawarkan beberapa solusi
yang dapat mengurangi dan dijadikan sebagai landasan dasar dalam sosialisasi-sosialisasi publik bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam menangani nikah anak di usia dini harus memiliki satu perspektif yang sama sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam mengahadapi persoalan ini.
Karena akan mubasir dan sia- sia jika ada perbedaan pendapat dari pihak-pihak tersebut,dan yang berikut peningkatan pendidikan, ini menjadi dasar yang kuat juga sehingga keputusan anak yang menikah dapat menggunakan pikiran rasional dan dapat membedakan mana yang baik dan tidak merusak orientasi ke depan juga untuk menyadari bahwa pernikahan ini bukan suatu paksaan dan juga bukan jalan untuk terbebas dari kemiskinan tetapi soal tanggungjawab akan resiko dari ketidakmatangan persiapan.
Posting Komentar untuk "Frater Ignasius Mano: Menelisik Problematika Nikah Usia Dini dalam Perspektif Ajaran Katolik dan Budaya Timor Dawan NTT"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat