Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ukiran Cinta Eros Dan Superego Di Negeri Karang Timor

Penulis: Frederikus Suni

Novel Superego karya Fredy Suni (Frederikus Suni/Tafenpah.com)

Tafenpah.com - “Dari sekian banyak nada...
Tiada satu pun yang Sempurna
Karena ada nada fals.
Nada kesempurnaan hanya Satu,
Yakni Sang Pengada.”
— Fredy Suni


Langit cerah jatuh di pesisir Pantai Wini. Wini adalah
salah satu tempat rekreasi yang berada di Kabupaten
Timor Tengah Utara, NTT. Sintia sedang duduk di atas
pasir putih, sementara angin menerbangkan rambutnya. Ribuan
keindahan saling berkejaran melintasi cakrawala. Sejauh mata
memandang, ada pelangi, ada rindu, ada kebohongan, ada derita,
dan ada penghianatan.

Ilustrasi salah satu pantai di Timor NTT. Tripadvisor

Baca Juga: Pesona Pantai Wini di Perbatasan RI - Timor Leste
Matahari, bulan, dan bintang terpana memandangi
penipuan cinta. Layaknya penipuan digital One Time Password
(OTP), peretasan akun oleh pembajak. Cinta diretas oleh media
sosial. Cinta tak mengenal kondisi. Cinta itu universal, sekaligus
membunuh. Bias dan bising ombak lautan, terbang bersama
angin di keheningan semesta. Sementara, jantung Sintia dibajak
oleh rindu.
Ketika rindu memanggil dalam dilema. Antara karier,
percintaan, dan superego orangtua. Rindu telah berontak,
beriringan mudik. Mudik adalah obat terlaris para perantau.
Rasa rindu akan kehangatan keluarga, terus memanggil. Jantung
mereka terjebak di antara politik dan pandemi Covid-19.
Rindu itu berat. Seberat nada dering telepon yang tak
kunjung membangunkan Sintia dari alam pesisir Pantai Wini.
Ia terus menatap tajam layar handphone androidnya. Tatapannya
setajam Hitler, sewaktu menggiring kaum minoritas dan
Yahudi dalam pembantaian di kamp-kamp konsentrasi demi
menyelamatkan ras Arya.
“Kapan?”
“Kapan?”

11

Kata tanya “kapan” selalu memenjarakan Sintia. Layaknya
penjara rasionalitas masyarakat sebelum abad ke-18, yang
memandang petir sebagai dewa. Padahal, sejatinya “petir” atau
“dewa” hanyalah ilusi masyarakat. Atau lebih tepatnya, filsuf
Albert Camus akan menamai pemahaman serupa “bunuh diri
filosofikal.” Karena petir hanya aliran listrik. Bukti empirik
menunjukkan bahwa, Benyamin Franklin melakukan eksperimen
menerbangkan layang-layang sewaktu badai petir di musim
hujan. Dan, berhasil mematahkan mitos masyarakat. Setiap ada
hujan petir yang menghantam pesisir Pantai Wini, Sintia selalu
mengingat jasa Benyamin Fraklin. Karena ada penangkal listrik,
yang menyejarah bersama permukiman warga.
Konspirasi aroma kopi dan asmara, melebur menjadi
satu entitas yang terjebak di dasar samudera “warkop” milik
pamannya. Secangkir kopi hitam telah menghangatkan badan,
sembari ia “ngopi”—yang berarti “ngobrol perkara impian”—
bersama pamannya.
Man adalah sebutan Sintia untuk pamannya, bukan man
yang berarti laki-laki.
“Man, cita-citaku adalah mau jadi jurnalis. Bisa masuk
TV, liput berita, bertemu banyak orang. Punya banyak kenalan
dari berbagai latar belakang pendidikan, budaya, bahasa, dan ras.”
“Sintia, man setuju kau punya impian jadi wartawan. Tapi,
apa kau sudah bicarakan dengan orangtua?”
“Belum, Man!
“Lah, gimana sih, Sintia? Ayo, sono bicarakan sama
orangtuamu.”

12
“Tapi, aku takut, Man.”
“Ngapain kau takut sama orangtuamu?”
“Lagian, superego orangtuaku tak bisa dilawan, Man.”
“Anyway, kopinya gratis, ya, Man?”
“Ngak! Kau harus bayar, dong, Sintia.”
“Man, kok sama ponakan aja pelit amat, sih?”
“Bukannya man pelit sama ponakan. Tapi, kelemahan
kita, orang Timor, adalah jiwa sosialnya tinggi banget. Makanya,
usaha kita ngak maju-maju.”
“Selain itu, man mau mengajarkan kepada ponakanku
yang cantik ini, untuk belajar bertanggungjawab dan mandiri.
Coba kau lihat dan belajar budaya Eropa. Di mana, mereka
sangat mandiri dalam segala hal. Mereka minum secangkir kopi
di kedai kopi aja, bayar masing-masing.”
“Aaaah, Man kok sok tahu aja, sih.”
“Man bukan sok tahu, tapi man banyak belajar dan baca
buku-buku yang berkaitan dengan budaya Eropa.”
“Wah, Man hebat, dong.”
“Man, bukan hebat. Tapi, man selalu ada kemauan untuk
belajar hal baru.” Makanya, ponakanku juga harus punya kemauan
untuk belajar. Dan, kamu ingat ajaran dari salah satu filsuf favorit
man, ya. ‘Pengetahuan sejati adalah mengetahui bahwa kamu
tidak tahu apa-apa,’— Sokrates.”
“Wah, keren banget, Man. Tapi, aku bingung, siapa itu
Sokrates?
“Nice. Man senang kau sangat antusias dengan tokoh

13

inspiratif man. Jadi, Sokrates adalah salah satu filsuf Yunani
yang sangat menjunjung tinggi kebenaran. Beliau adalah tokoh
pembela kebenaran sejati. Bayangkan, demi kebenaran, beliau
rela minum racun di depan para penguasa.”
“Kok minum racun sih, Man? Emang, ngak ada cara lain
untuk mempertanggungjawabkan kebenaran di depan penguasa?”
“Tentu ada!”
“Lalu, kenapa Sokrates tak bisa gunakan cara yang lain?
Beliau kan cerdas, Man.”
“Ya, beliau sangat cerdas. Tapi, kan konteks zaman itu
beda, Sintia.”
“Apanya, yang beda, Man?”
“Zaman itu, Sokrates tak punya pilihan lain, selain harus
meminum racun yang telah disediakan oleh para penguasa.
Motifnya adalah, para penguasa mau melihat, apakah Sokrates
bisa mempertanggungjawabkan kebenarannya atau tidak?”
“Wah, Sokrates hebat banget, Man.”
“Anyway, man mau ceritain filsafat cinta dari ajaran filsuf
Yunani.”
“Mau banget, Man.”
“Rahasia, dong.”
“Iiiiiih, rahasia kok sama ponakan, sih? Padahal, aku mau
belajar filsafat cinta dari ajaran para filsuf Yunani, Man.”
Senja telah jatuh di samudera perairan Wini. Sintia
menemui orangtuanya untuk menyampaikan impiannya.
“Yah, aku mau kuliah Ilmu Komunikasi.”

14

“Ngapain kau kuliah itu Ilmu Komunikasi?”
“Cita-citaku kan mau jadi jurnalis, Yah.”
“Tidak! Kau harus kuliah Keperawatan!”
“Aku ngak mau, Yah!
“Kau harus kuliah mengikuti pilihan ayah! Camkan itu!
“Otoriter banget, Yah! Macam aku ini hidup di zaman
tirani aja.”
Perang dingin menusuk kalbu Sintia. Antara dia dan
orangtuanya mulai membangun blok. Sintia menganut Blok
Barat yang mengagungkan rasionalitas, sementara orangtuanya
menganut Blok Timur yang mengagungkan patriarki.
Teror fisik, emosional, dan finansial sangat menyiksa Sintia.
Kebebasan mengejar impian, dibatasi oleh ambisi orangtuanya.
Sintia diancam. Jika tak mengikuti pilihan orangtuanya, maka
ia tak dianggap lagi sebagai anggota keluarga. Sintia tak bisa

melawan superego dari orangtuanya. Walaupun ego dan Id-
nya dalam teori psikoanalitik Sigmund Freud, mendominasi

adrenalinnya untuk mengejar kebebasan. Entah, kebebasan dalam
karier atau dalam percintaan.
Superego orangtua Sintia dipengaruhi oleh lingkungan
sekitar. Di mana, mayoritas anak-anak di lingkungannya
berlomba-lomba untuk kuliah keperawatan. Sementara, lapangan
pekerjaan tak mendukung. Cara pandang inilah, yang masih
dianut oleh sebagian besar masyarakat pedalaman Pulau Timor.
Akibatnya, sumber daya manusia kurang mendukung masyarakat
pedalaman. Cara pandang primitif ini, perlu diubah sesuai mesin
waktu.

15

Sintia adalah anak tunggal dari pasangan Jack dan
Rosa. Jack adalah pengusaha sirih pinang ternama di Kota
Kefamenanu. Sementara, Rosa menghabiskan separuh hidupnya
untuk pendidikan karakter Sintia. Meskipun, ia adalah seorang
sarjana. Akan tetapi, baginya gelar tak penting! Yang terpenting
adalah kasih dan perhatiannya absolut kepada pertumbuhan dan
perkembangan Sintia. Ia bermimpi untuk mengukir nama Sintia
seluas samudera pelangi.
Seluas tinta pelangi, ada impian, ada harapan yang
tersembul dari semesta. Lalu, terbentur oleh rasionalitas dan
patriarki. Semburan-semburan lava panas gunung berapi,
menembus asmara Sintia untuk mengejar impiannya menjadi
jurnalis profesional.
Senja telah menggiring ledakan asmara, berirama
dengan tangga nada puing-puing reruntuhan Kota Hiroshima
dan Nagasaki. Akibat bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika
Serikat, dan mengakhiri perang dunia II. Pecahan partikel asmara
Sintia, menyejarah bersama senja. Senja itu indah, sekaligus
kejam. Karena, senja telah membunuh asmara dua insan yang
sedang mabuk cinta. Tapi, bukan mabuk “moke” dan “sopi.”
Moke dan sopi, adalah jenis minuman khas daerah NTT. Alhasil,
kedua jenis minuman ini sudah dilegalkan oleh Pemprov NTT.
“Cinta adalah misteri yang tak ada studi bandingnya.”
—kutipan novel Terjebak
Cinta itu tak mengenal rumus matematika untuk
dibagikan, dikurangi, ditambahi, dan diperbandingkan antara
kuadran X dan Y. Sejauh ada dermaga, di situ cinta bersandar

16

dan bersemi.
Jalanan berdebu serta bising kendaraan, semakin menambah
bara asmara Sintia. Hujan rindu kembali memanggilnya. Sintia
mengembara, mengarungi samudera internet. Ia berselancar
bersama bayangan media sosial. Facebook, WhatsApp, Instagram,
Messenger, Line, Linkedin, Twitter, semakin berkejaran dalam
gengaman smartphone. Dari sekian banyak aplikasi medsos itu,
tak ada satu pun yang menanggapi kegalauan Sintia.
Kata sifat “galau” dalam diri Sintia, mewakili ribuan orang
yang selalu membuka cakrawala di antara barisan medsos setiap
hari. Di mana, ada kejanggalan dari ribuan orang yang dipenjara
oleh prasangka, pekerjaan, cinta, dan kejayaan masa lalu. Mereka
terus mengais rempah-rempah penyesalan. Sementara, mesin
waktu terus berputar.
Mesin waktu dalam lingkaran semesta seolah masa
bodoh dengan rindunya Sintia. Stadion memori Sintia tak
bisa menampung rindu. Layaknya rindu para suporter Real
Madrid, yang sudah sekian bulan vakum dari lapangan hijau.
Sintia mengalirkan rindunya di antara ribuan anak sungai yang
mengarah ke samudera. Senja telah beralih dimensi. Sintia
semakin gelisah. Layaknya rasa gelisah para filsuf, ahli dalam
mencari ilmu baru. Senja perlahan-lahan menghilang di tengah
samudera perairan Wini. Waktu terus berputar, rindu semakin
mengejar Sintia. Di balik buronan rindu. Bukan buronan pencuci
uang rakyat, yang selalu menebar pesona dalam ruang publik.
Penderitaan psikis paradoks, dengan tangga nada karakter
Sintia yang pemaaf, ceria, humoris, optimis, dan selalu haus akan

17

ilmu pengetahuan. Tekanan batin atau istilah keren pamannya,
“post power syndrome” mengejar Sintia. Karena ayahnya selalu
menerima teror dari para pengusaha lainnya. Dimensi alam
bawah sadar Sintia selalu berontak. Rasa dendam dan benci,
melebur menjadi satu entitas dalam diri para pengusaha sirih
yang berkonspirasi untuk menjatuhkan usaha ayahnya.
Waktu telah menyatukan sidang konspirasi, di salah satu
hotel bintang lima yang ada di Kota Kefa.
“Aku benci dengan usaha Pak Jack!” kata seorang
pengusaha muda.
“Aku juga! Pak Jack telah menjatuhkan harga pasar sirih,”
sambung koleganya.
“Jika kita tak bergerak untuk menghentikan usaha Pak
Jack, apa yang kita harapkan dari usaha kita?”
“Naaaah, itu masalahnya, naef!”
Kata naef adalah istilah keren orang Dawan dalam
percakapan sehari – hari.
“Lalu, gimana solusinya, agar usaha kita tetap eksis?”
“Aku punya ide, naef.”
“Apa?”
“Gimana kita menyewa orang untuk menghancurkan
usaha Pak Jack?”
“Caranya?”
“Kita bayar preman aja!”
“Tapi, kita belum punya sistem yang terkoneksi dari atas
ke bawah. Kita jangan tergesa-gesa. Kita harus main halus aja.”

18
“Main halus? Gimana caranya, naef?”
“Rahasia, dong!”
Rencana konspirasi, seirama isi dompet salah satu
pengusaha sirih yang menjadi saingan terberat pak Jack dalam
menggait pelanggan di pasar. Customer service berbalut hospitality
yang super adalah marketing dari pesaing Pak Jack. Banjir
rupiah mengalir, membasahi rekening orang-orang yang sudah
tergabung dalam sistem yang mereka bangun. Agen-agen yang
memiliki taktik inteligensi super, dikerahkan untuk beraksi.
Mereka mencemari sumber mata air dengan meracuninya.
Akibatnya, seluruh tanaman sirih Pack Jack layu dan mati.
Kerugian mencengkeram pak Jack. Ia tak bisa membayar gaji
karyawannya. PHK massal tak terelakkan lagi. Sementara,
pesaingnya memanfaatkan situasi dengan merekrut mantan
karyawan Pak Jack. Mereka didoktrinisasi untuk menuntut Pack
Jack di meja hijau.
Dingin malam semakin menusuk kalbu. Rasa cemas,
depresi, dan stres menyerang Pak Jack sekeluarga. Sementara,
gudang logistik satu-satunya yang masih tersisa, ikut terbakar
oleh amukan mantan karyawannya yang sudah didoktrinisasi
para pesaing. Tinggallah puing-puing rencana masa depan
keluarga Pak Jack yang tak memiliki kompas.
Tak sampai di situ, rencana konspirasi para pesaingnya
semakin brutal dan tak beradab. Mereka pun memanipulasi data
untuk menjebloskan Pak Jack ke dalam penjara. Sudah jatuh,
tertimpa tangga pula. Itulah nasib Pak Jack.
Pak Jack tak ada pilihan lain, selain mendekam di dalam

19

penjara. Ia tak menerima pahitnya keadaan keluarganya. Salah
satu penyesalannya adalah, ia lupa berinvestasi properti untuk
masa depan keluarganya. Ia merasa menyesal karena belum
sempat melihat Sintia berdiri di atas kakinya sendiri.
Kepanikan mengejar Sintia dan ibunya. Kebencian bak
virus. Virus kebencian para pengusaha pun terimbas ke dalam
kehidupan Sintia. Sentimen kehidupan sosial masyarakat
terus mengalir, bagaikan aliran Sungai Nil. Di balik jeruji besi
penjara, ayah Sintia tak berdaya. Sementara, Sintia berada pada
posisi dilema. Dilema antara karier, percintaan, dan keluarga.
Nada dering telepon terus berkejaran, melewati lorong-lorong
tersempit dan tersembunyi di jantung Sintia.
Air mata penderitaannya terus mengalir membasahi
kelopak mata. Karena, Sintia belum sempat menjenguk ayahnya
setelah enam bulan masa tahanan. Ayahnya telah beralih dimensi.
Sintia terlambat lima menit sebelum ayahnya menghembuskan
nafas terakhir.
Jika keberadaan manusia dibatasi oleh waktu, lalu, apa itu
waktu? tanya Sintia dalam hatinya.
Sintia dan ibunya duduk terpaku, memandangi jenazah
salah satu lelaki terbaik dalam hidup mereka. Walaupun ayahnya
sangat otoriter, tapi rasa sayangnya kepada Sintia dan ibunya tak
lekang oleh waktu dan ruang. Rasa hampa telah memenuhi ruang
kosong hidup mereka. Peralihan jenazah ayahnya ke dimensi
gelap, telah mengalienasi mereka dari lingkungan dan sesamanya.
Setiap hari, mereka ditemani oleh ruang kosong. Ruang
dan waktu, telah mengasingkan mereka dari kehidupan sosial.

20

Ribuan kecemasan dan kekhawatiran terus mengejar mereka.
Mereka dipenjara oleh penyakit depresi.
Waktu telah beralih menuju fase kehidupan lainnya.
Ibunya menderita penyakit kanker stadium akhir. Mereka tak
berdaya dengan keadaan karena tabungan mereka tak mencukupi
untuk biaya operasi. Akhirnya, takdir dan waktu telah mengambil
ibunya.
Pohon keluarga Sintia berakhir. Peralihan dimensi
orangtuanya telah memutuskan rantai pohon keluarganya. Sintia
terdampar oleh kerinduan. Kerinduan itu bersayap, layaknya
kebahagiaan. Terkadang, kebahagiaan datang dan pergi, sembari
meninggalkan goresan luka yang amat mendalam dalam diri
Sintia. Akhirnya, kebahagiaan dan kerinduan pergi, tak tahu
rimbanya.

***
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Frederikus Suni (Fredy Suni) Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia (Asia Cyber University) | Frederikus Suni pernah DO dari Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dian Nusantara (Undira) Jakarta || Terkait kerja sama dan informasi iklan bisa melalui email tafenpahtimor@gmail.com || || Instagram: @suni_fredy || @tafenpahcom || @pahtimorcom || Youtube: @Tafenpah Group

Posting Komentar untuk "Ukiran Cinta Eros Dan Superego Di Negeri Karang Timor"