Tebar Pesona Elit Politik, Dampak Pancasila Sebagai Sistem Etika dan Pandangan Etika Nicomachea Aristoteles



Penulis: Frederikus Suni

Dampak Pancasila Sebagai Sistem Etika, dok.
Tafenpah.com dari Freepik

Tafenpah.com - Pancasila Sebagai Sistem Etika karena berisikan rangkain aturan hidup yang secara keseluruhan mengatur jalan hidupnya warga Indonesia dalam bersikap dan bertingkah laku.

Untuk mengelaborasikan Pancasila Sebagai Sistem Etika, penulis juga akan melihat ajaran dari salah satu filsuf Yunani yakni: Aristoteles.

Aristoteles meletakkan seluruh ajarannya, terutama sikap dan tingkah laku murid-muridnya dalam Etika Nicomachea, yakni: kebahagiaan.

Rumusan Masalah

Untuk memudahkan tulisan ini, pertama-tama penulis akan menyajikan beberapa pertanyaan dasar, sebagai bahan acuan bagi penulis dalam memetakkan ruang lingkup tulisan, kurang lebih seperti di bawah ini:

·         Apa yang dimaksud dengan Pancasila Sebagai Sistem Etika?

·         Apa itu Etika Nicomachea?

·         Hubungan Pancasila sebagai sistem etika dan etika nicomachea

1.1  Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Pancasila, Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Siber Asia.

 

Selain itu, tujuan utama dari tulisan ini sebagai bahan permenungan sekaligus kilas balik bagi penulis dan juga pembaca untuk mengaplikasikan sikap dan tingkah laku yang baik dalam kehidupan bersama. Akhirnya, sikap dan tingkah laku yang baik akan menghantar setiap orang pada kebahagiaan. Sebagaimana yang terkandung dalam ajaran Aristoteles yakni kebahagiaan.

 

1.2  Manfaat Penulisan

Memperkaya wawasan pembaca, terutama dalam bersikap dan bertingkah laku di tengah masyarakat plural yang ada di bumi nusantara.


Bab 2

Pembahasan

Pancasila sebagai sistem etika karena berisikan panduan tentang bagaimana warga Indonesia bersikap dan bertingkah laku. Sikap dan tingkah laku yang baik akan mendatangkan kebahagiaan bagi setiap warga negara.

Karena di tengah persoalan bangsa dan negara yang makin rumit, mulai dari persoalan naik dan turunnya harga kebutuhan pokok, perang opini dan ideologi antar pemimpin bangsa, terlebih yang tersaji dalam kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden periode 2024-2024, deretan konflik kepentingan yang terjadi di mancanegara, isu perubahan iklim, perubahan cara kerja, dan pelbagai persoalan bangsa juga ikut menciptakan rance atau jarak pemisah antara kelompok A, B dan C.

Akibatnya, tebar pesona yang dimainkan oleh elit politik di depan kaca layar televisi, secara tak sadar telah melemahkan Pancasila sebagai sistem etika.

Karena mereka (elit politik) yang merupakan kaum intelektualis sekaligus figur publik telah mereduksi atau mengasingkan animo/perhatian generasi muda dalam bersikap dan bertingkah laku.

Hasilnya, sikap dan tingkah laku generasi muda menjadi semakin absurd, liar dan mengikuti paradigma elit politik. Sebagaimana drama kehidupan palsu dari elit politik yang kita saksikan di berbagai konferensi pers dan berbagai event lainnya.

Ketika sikap dan tinkah laku generasi muda tidak seirama Pancasila. Maka, muncullah statement dari segelintir elit atau figur publik, bahwasannya generasi muda saat ini sudah salah jalur pembinaannya.

Dalam konteks  ini, kelompok yang bertanggung jawab adalah tenaga pendidik. Selain orang tua dari generasi muda tersebut.

Hancurnya sikap dan tingkah laku figur publik yang biasanya menjadi konsumi massa melalui berbagai saluran media konvensional hingga digital, ikut memperkuat tembok keangkuhan dan superioritas antar satu dan lainnya.

Sistematika permainan cacat sikap dan tingkah laku dari figur publik tersebut, sama sekali tidak mencerminkan Pancasila Sebagai Sistem Etika.

Bagaimana tidak, para founding fathers telah meletakkan Pancasila Sebagai sistem Etika dengan harapan generasi penerusnya dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan hariannya dengan tulus, tanpa adanya kecenderungan untuk mereduksi esensi dari nilai-nilai universal.

Memang bagaimana pun juga, perbedaan sikap dan tingkah laku dalam memaknai segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan manusia itu, wajar-wajar saja. Asalkan, kadarnya tidak berlebihan.

Pasalnya kelebihan kadar sikap dan tingkah laku sebagaimana yang terpotret dalam tebar pesona figur publik di depan layar kaca televisi, secara kontinyu melemahkan Pancasila Sebagai Sistem Etika.

Untuk itu, dalam konteks ini, penulis pun akan menerbangkan sekaligus mengelaborasikan Pancasila sebagai sistem etika dan etika nicomachea.

Apa itu Etika Nicomachea?

Sederhananya, Etika Nicomachea yang diajarkan oleh filsuf Aristoles adalah menyangkut kebajikan dan karakter moral.

Lebih jauhnya, etika nicomachea adalah sarana pencarian tertinggi dan terakhir dari perjalanan manusia, yakni: kebahagiaan.

Masih dalam pembahasan yang menyangkut tebar pesona dari figur publik/elit politik bangsa. Di mana, seluruh sikap dan tingkah laku mereka sejatinya bertujuan untuk keunggulan elektabitas dan pada akhirnya kemenangan partai politik, baik di tingkat daerah,kota hingga nasional.

Pertanyaannya; Setelah mereka mendapatkan keinginan dan harapan dari partai, apakah mereka tetap bahagia?

Aristoteles pertama-tama melihat kebahagiaan bukan berdasarkan keinginan dan harapan. Karena persoalan kebahagiaan, setiap orang ingin bahagia.

Banyak kandidat berlomba-lomba untuk masuk ke salah satu partai yang ada di Indonesia dengan keinginan dan harapan yang setinggi bintang garuda. Perihal keinginan dan harapan setiap figur publik, tentunya berbeda. Perbedaan tersebut akan melebur dalam visi dan misi partai, yakni: ungul dari partai politik yang lainnya. Selain mendapatkan berbagai hak istimewa, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Setelah keinginan dan harapan kandidat/figur publik dari partai terpenuhi, bukannya mereka hidup senyaman dan sebahagia, sebagaimana cita-cita keluarga kecilnya.

Justru mereka dihadapkan dengan pelbagai tuntutan partai. Selain, minimnya waktu yang berharga bersama keluarga, relasi dengan dirinya sendiri, lingkungan, alam hingga Sang Pengada (Tuhan yang diimani).

Akibatnya, figur publik dambaan atau primadona warga di wilayah tertentu, secara tak sadar, kehilangan hidup pernikahannya (perceraian), serta persoalan lainnya.

Tak menutup kemugkinan juga, potretan media digital kerap menghadirkan figur publik yang secara diam-diam menjual iman demi popularitas, menghalalkan segala cara untuk meraih kesuksesan, dll.

Akan tetapi, pada akhirnya mereka yang menjual iman demi popularitas, perlahan tapi pasti tergerus, terisolasi, dan terasing dari dirinya sendiri, keluarganya, alam ciptaan. Mengingat hukum karma selalu hadir tepat pada waktunya.

Beragam persoalan di atas, dalam kamus Aristoteles, terutama dalam Etika Nicomachea adalah kebahagiaan semu atau sementara.

Untuk itu, Aristoteles selalu menekankan bahwasannya kebahagiaan sejati itu pertama-tama datang dari dalam diri setiap orang.

Artinya, orang menjadi bahagia, bukan berarti ia harus masuk ke dalam lingkaran partai politik, menyelesaikan studi hingga meraih gelar S1,S2 dan S3.

Orang bahagia juga bukan harus menghalalkan segala cara. Bahagia juga tidak diukur dari seberap kaya harta bendanya.

Sebaliknya orang bahagia bukan ia rajin pergi ke tempat ibadah untuk bersembah sujud setiap saat, tapi sikap dan tingkah lakunya, sama sekali tidak selaras dengan ajaran yang terkandung dalam nilai-nilai universal, yakni: cinta kasih, saling menghargai, mencintai, peduli, dsb.

Namun, kebahagiaan versi Etika Nicomachea adalah kenyamanan dan kecukupan tanpa dibuat-buat. Artinya; kebahagiaan itu datang secara alami, ketika setiap orang bersyukur, menerima dirinya sendiri, bersikap dan bertingkah laku, sebagaimana yang diajarkan dalam setiap iman kepercayaan.

 

Hubungan Pancasila Sebagai Sistem Etika dan Etika Nicomachea

Pancasila Seagai Sistem Etika berisikan panduan sikap hidup warga Indonesia. Sementara, Etika Nicomachea mengajarkan kebahagiaan sejati, pertama-tama bukan terletak pada keinginan dan harapan manusia. Kebahagiaan itu datang secara alami.

Elaborasi atau hubungan Pancasila Sebagai Sistem Etika dan Etika Nicomachea terletak pada sikap dan tingkah laku.

Di mana, setiap orang bertindak dan bersikap harus didasarkan pada nilai-nilai universal. Sebagai warga Indonesia, kita memiliki Pancasila yang mengatur seluruh jalannya kehidupan kita.

Karena Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai sistem etika berusaha untuk membuka cakrawala kita, agar menjalani kehidupan degan penuh keyakinan, serta bersikap dan bertingkah laku, sebagaimana filosofi dari founding fathers atau pendiri bangsa, yakni: merangkul dan melihat sesama, layaknya melihat dan memperlakukan diri sendiri.

 

Bab 3

Penutup

Kesimpulan dan Saran

Pancasila Sebagai Sistem Etika telah mengatur sikap dan tingkah laku kita dalam kehidupan harian. Meskipun begitu, hingga saat ini, perbedaan sikap dan tingkah laku antar satu dan lainnya, terlebih figur publik, perlahan tapi pasti mereduksi atau mengasingkan perhatian generasi muda.

Untuk mengembalikan hakekat Pancasila Sebagai Sistem Etika, pertama-tama mindset figur publik yang suka tebar pesona di depan layar kaca televisi diubah.

Artinya; apa yang mereka tampilkan di depan massa, seharusnya tidak berdasarkan kepentingan partai dan ideologi apa pun.

Dengan begitu, animo atau perhatian kaum muda akan mengikuti mereka. Karena pelajaran terbaik bagi setiap orang adalah apa yang dilihatnya, didengar, dipahami dan lain sebagainya.

Sebagaimana dalam Etika Nicomachea, bahwasannya orang yang bahagia, pertama-tama bukan karena keinginan dan harapannya tercapai. Melainkan, kebahagiaan itu terjadi secara alami.

 

Sarana yang tepat adalah kita pun mengubah sikap dan tingkah laku kita dalam kehidupan setiap hari.

 

Demikian tulisan sederhana dari penulis.

 

Daftar Pustaka

 

Analisa penulis berdasarkan situasi dan dinamika kehidupan politik dan sosial yang terjadi di tanah air, dengan konsep pemikiran Etika Nicomachea Aristoteles.


Artikel ini juga saya sudah publikasikan di Kompasiana:

https://www.kompasiana.com/fredysuni


Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Salam kenal! Saya Frederikus Suni Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia. Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Tebar Pesona Elit Politik, Dampak Pancasila Sebagai Sistem Etika dan Pandangan Etika Nicomachea Aristoteles"