Makna Volume Suara Keras bagi Masyarakat Indonesia, Thailand dan Arab, Tinjauan Komunikasi Lintas Budaya

Penulis: Frederikus Suni


Tafenpah.com - Volume suara, intonasi, nada suara mengandung makna tertentu. Umumnya, volume suara keras bagi masyarakat Indonesia dan Thailand menandakan kekasaran. Sementara, di negara-negara Arab, hal itu justru menandakan kekuatan dan ketulusan. Karena itu, orang Arab berteriak ketika mereka berbicara kepada orang yang mereka sukai.

Demikian pemikiran dari Prof. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D dalam bukunya yang berjudul 'Komunikasi Lintas Budaya,' terbitan PT. Remaja Rosdakarya, Bandung - Cetakan kelima tahun 2019, halaman 11.

Meminjam pemikiran Prof Deddy selaku guru besar Program Studi Ilmu Komunikasi di beberapa universitas yang pernah ia mengabdikan diri, saya juga akan memberikan elaborasi terkait 'volume suara keras.'





Topik pembahasan tersebut, sejatinya sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Indonesia. Apalagi Indonesia terkenal dengan kebudayaannya.

Perihal 'volume suara keras,' identik dengan kelompok atau ras melanesia yang mendiami wilayah Timur Indonesia dan juga suku bangsa Batak, Sumatera Utara.

Masyarakat di luar ras melanesia dan suku bangsa Batak, ketika awal berkenalan dengan mereka, pastinya mereka akan kaget dengan intonasi suara keras dari kedua suku bangsa tersebut (Melanesia dan Batak), kan?

Sebagai contoh nyata, saya (ras melanesia), tepatnya saya berasal dari etnis Dawan Timor di bagian Tenggara Indonesia, provinsi Nusa Tenggara Timur.  Tahun 2014 setelah menyelesaikan pendidikan menegah di SMA Bikomi Utara, kecamatan Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara -NTT, saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan  Seminaris (calon Pastor/Imam Katolik, Kongregasi Serikat Sabda Allah/SVD) di Postulat Stela Maris Malang (pembinaan dasar/Postulat), sebelum melanjutkan ke Novisiat SVD Roh Kudus Batu hingga Seminari Tinggi SVD Surya Wacana Malang sekaligus Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur, awalnya saya sudah terbiasa dengan berbicara dengan menggunakan intonasi atau nada suara yang keras kepada teman-teman yang berasal dari Jawa dan sekitarnya.

Bagi saya, berbicara dengan volume suara yang keras, itu merupakan hal yang biasa. Namun, permasalahannya adalah tingginya volume suara, secara tidak sadar menjauhkan saya dari teman dan juga warga sekitar yang berasal dari ras Jawa.

Namun, seiring dengan perjalanan waktu, saya sadar, apalagi di seminari setiap beberapa bulan bahkan dalam setahun biasanya ada pesta budaya. Di mana dalam pesta budaya tersebut, kita saling mempelajari kebudayaan sesama, termasuk cara berkomunikasi, panggilan untuk minum dan makan hingga sapaan serta penggunaan bahasa verbal maupun nonverbal.

Pengalaman tersebut ikut memperkaya pengetahuan saya terkait komunikasi lintas budaya. Hasilnya, relasi saya bersam teman-teman yang berbeda budaya dari saya, perlahan tapi pasti kembali menyatu dalam satu perjuangan.

Cerita singkat saya di atas, sejatinya tidak sekaya dengan pengalaman komunikasi lintas budaya dari pembaca setia tafenpah.

Karena saya yakin dan percaya bahwasannya, lamanya waktu di tanah rantau, pengalaman komunikasi lintas budaya pembaca, terutama dalam kehidupan berjejaringan/berkomunitas, baik di lingkungan kampus, kerja, bisnis, dsb tentunya lebih kaya dan variatif, kan?

Terpisah dari persoalan tinggi, keras, dan halusnya nada bicara kita, semua itu merepresentasikan kebudayaan dari mana kita lahir dan dibesarkan oleh kedua orang tua kita. 

Untuk itu, tanpa mendiskredit atau menjelekkan kebudayaan sesama, pengetahuan tentang kebudayaan setiap orang itu perlu dan terus dikembangkan oleh setiap orang.

Karena pengetahuan yang cukup tentang kebudayaan diri sendiri akan jauh membantu kita dalam menghargai kebudayaan orang lain.

Mak tepatlah apa yang diajarkan oleh filsuf blasteran Yahudi dan Jerman, Ernst Cassirer yakni; "Manusia pertama-tama harus didekati dari budayanya. Karena manusia adalah makhluk yang membudaya. Artinya, makhluk yang hidup dalam dan melalui unsur-unsur kebudayaan itu sendiri."


Catatan Penting Admin Tafenpah Terkait Diskriminasi Kebudayaan di Indonesia


Isu kebudayaan merupakan salah satu pemicu dari perpecahan bangsa Indonesia. Kasus 1998 telah memberikan pil pahit sekaligus catatan kelaman bagi perjalanan bangsa Indonesia hingga bangsa kita memasuki usia yang ke-79 tahun 2024 ini.

Memang setiap bangsa di dunia, pastinya memiliki catatan kelam terkait maju dan berkembangnya bangsa tersebut. Namun, berkaca dari peristiwa kelam 1998 yang bukan hanya persoalan ekonomi semata, kita sebagai warga Indonesia harus lebih peduli dan saling menumbuhkan rasa memiliki antar satu dan lainnya.

Karena di manapun, perpecahan hanyalah meninggalkan penyesalan, sakit hati, beban psikologi dan penyiksaan diri.

Semakna dengan sambutan presiden Joko Widodo ketika menerima lawatan/kunjungan Paus Fransiskus (pemimpin tertinggi umat Katolik dunia sekaligus kepala negara Vatikan) di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu (4/9/2024), yakni perang tidak akan menguntungkan siapa pun. Perang hanya akan membawa penderitaan dan kesengsaraan masyarakat kecil.

Untuk itu, melalui pesan penting presiden Joko Widodo tersebut, marilah kita merayakan perbedaan untuk menuju persatuan.

Apalagi bangsa Indonesia kita memiliki falsafah hidup yakni "Bhinneka Tunggal Ika."


Epilog


Terpisah dari pesan penting presiden Joko Widodo tersebut, saya mewakili Tafenpah kembali mengimbau kepada kita semua untuk tidak saling mendiskredit atau menjelekkan kebudayaan yang satu dan lainnya.

Karena cara demikian hanyalah jalan menuju kepada kehancuran bangsa. Untuk itu, intisari dari tulisan ini adalah berkomunikasi dengan volume suara yang tinggi, keras dan halus sejatinya merupakan representasi kebudayaan dari mana kita lahir dan dibesarkan.

Karena sejak kita dilahirkan oleh orang tua kita, kita pun tidak pernah memilih untuk lahir dari rahim dan suku mana saja, kan?

Semua itu adalah proses kehidupan yang perlu kita syukuri sebagai mutiara kehidupan di bumi nusantara yang terkenal dengan kekayaan budaya, karakter dan latar belakangnya di mata dunia internasional.

Salam kebudayaan.

Ikutin juga media sosial kami di bawah ini:





Instagram: @suni_fredy



Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Salam kenal! Saya Frederikus Suni || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Makna Volume Suara Keras bagi Masyarakat Indonesia, Thailand dan Arab, Tinjauan Komunikasi Lintas Budaya"