Latar Belakang di Balik Larangan Imam Katolik tidak Terlibat dalam Partai Politik

Oleh: Frederikus Suni 

Larangan Imam Katolik tidak terlibat dalam kegiatan berpolitik. Sumber gambar Harian Jogja. Imam atau pastor Katolik/Tafenpah.com

Tafenpah.com - Gereja Katolik sejak tahun 1983 dengan tegas melarang para klerus atau mereka yang akan menerima tahbisan suci seperti: Diakon, Imam dan Uskup untuk tidak terlibat dalam partai-partai politik.

Larangan tersebut tercantum dalam Kitab Hukum Kanonik/KHK. 

"Janganlah mereka (para klerus) turut ambil bagian aktif dalam partai-partai politik dan dalam kepemimpinan serikat-serikat butuh. Kecuali jika menurut penilaian otoritas gerejawi yang berwenang hal itu perlu untuk melindungi hak-hak Gereja atau memajukan kesejahteraan umum," (Bdk. Kanonik S1-2).





Meskipun begitu, sebelum tahun 1983, Gereja Katolik telah mengizinkan para klerus untuk turut andil dalam kegiatan berpolitik di mana mereka menjalankan misi pewartaan.






Artinya, para klerus boleh saja mencalonkan diri menjadi anggota ataupun pemimpin legislatif, yudikatif dan eksekutif, dengan catatan mereka harus mendapatkan izin dari pemimpin Ordo dan Kongregasi hingga Uskup setempat.

Akan tetapi, Gereja Katolik telah memiliki catatan kelam atau jejak suram, alias ternodai dengan keikutsertaan imam/pastor dalam kontestasi politik nasional.

Sebut saja Pastor Robert Drinan, SJ (Serikat Jesuit) yang pertama kali terpilih menjadi Anggota Kongres Amerika Serikat, tanpa dukungan dari pimpinannya.

Selain itu, Gereja Katolik tidak mengizinkan hukum aborsi. 

Namun, pastor/imam Robert Drinan, SJ ini telah membuat keputusan yang sangat kontroversial, yakni mendukung hukum aborsi di Amerika Serikat.

Keputusan pastor Robert Drinan terhadap hukum aborsi di Amerika Serikat memicu perhatian serius di kalangan Gereja Katolik dunia.

Perdebatan antar klerus, umat dan lembaga kemanusiaan lainnya seakan tak berkesudahan.

Beruntung, dengan terpilihnya Paus Yohanes Paulus II, perdebatan terkait hukum aborsi di kalangan Gereja Katolik menemui titik terangnya.

Dalam audiensi umumnya, Paus Yohanes Paulus II mengatakan imam Katolik tidak mempunyai misi politik, Rabu (28/6/1993).

Keputusan Paus Yohanes Paulus II ini juga didasarkan pada spiritualitas Yesus Kristus dalam pewartaan_Nya.

Di mana, Yesus Kristus semasa hidup dan pelayanan_Nya selalu berusaha untuk menghindari isu politik.

Tuhan Yesus juga tidak menjanjikan kebebasan dalam artian politik.


Politik, Perpecahan dan Dampaknya Terhadap Pelayanan Imam Katolik 

Setiap menjelang pesta demokrasi, topik pembicaraan setiap warga negara, dalam hal ini umat Katolik dunia terlihat seksi dan romantis.

Keseksian ruang politik, sama halnya romansa dalam K-Pop dan K-Drama yang belakangan ini menjadi candu bagi generasi muda hingga tua di mana pun.

Kendati demikian, jika seandainya imam atau pastor Katolik terlibat dalam politik, maka yang pasti adalah adanya tendensi untuk mencari popularitas sekaligus menjauhkan makna hidup selibat.

Karena bagaimanapun juga, tugas utama para imam/pastor adalah totalitas dalam melayani umat, berdasarkan semangat pendiri dan juga spiritualitas Yesus Kristus.

Artinya, pelayan imam/pastor Katolik tidak sebatas hanya pada kalangan umat Nasrani. Melainkan mereka wajib memberikan pelayanan apapun kepada semua orang tanpa memandang latar belakang agamanya, suku bangsanya, ideologinya, dll.

Pelayanan imam/pastor Katolik itu universal dengan menjiwai semangat cinta, kasih dan totalitas, sebagaimana yang telah Yesus Kristus ajarkan kepada pengikutnya.

Hal demikian akan berbanding terbalik, jika seandainya imam/pastor Katolik terlibat dalam kegiatan politik.

Yang ada justru, setelah mereka mendapatkan jabatan di salah satu lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif, mereka akan menghabiskan masa jabatannya untuk bekerja kepada pemimpin partai dan juga orang-orang yang berada di dalam lembaga tersebut.

Akibatnya, para imam/pastor akan masuk dalam lingkaran perpecahan bersama umat dan kepada mereka yang mencintai kehidupan tanpa embel-embel.

Lebih krusialnya adalah para imam/pastor Katolik masuk dalam keterasingan makna pelayanan.

Tidak menutup kemungkinan juga, para imam/pastor akan memiliki banyak simpanan di mana-mana.

Karena mereka mempunyai power di dalam lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif.

Untuk itu, Gereja Katolik seyogyanya berterima kasih kepada keputusan Paus Yohanes Paulus II yang telah melarang para klerus untuk tidak terlibat dalam bidang politik.


Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Latar Belakang di Balik Larangan Imam Katolik tidak Terlibat dalam Partai Politik "