Pilkada 2024, Antitesis Komunikasi antar Calon Pemimpin (Tinjauan TAFENPAH dalam Menyikapi Politik Dinasti di Indonesia)

Oleh: Frederikus Suni 

Ilustrasi antitesis komunikasi antar calon pemimpin kepala daerah dan warga. Sumber gambar: Pixabay

Tafenpah.com - Pesta demokrasi Indonesia kembali memanas, terutama jelang 'Pemilihan serentak Kepala Daerah," tepatnya pada tanggal 27 November 2024 mendatang. Perihal antitesis komunikasi antar calon pemimpin dalam pemilihan kepala daerah, sejatinya tidak terlepas dari ritme atau orkestra politik dinasti yang sudah berakar kuat dalam demokrasi tanah air.

Indonesia merupakan salah satu negara penganut sistem pemerintahan demokrasi terbesar di dunia. 

Demokrasi Indonesia dimulai pada awal abad ke-20. Di mana, kala itu, Indonesia masih dijajah oleh Belanda. 




Dalam perjalanan waktu, demokrasi Indonesia kerap mengalami pasang surut.

Mengutip dari buku 'Mengenal Lebih Dekat Demokrasi di Indonesia' karya Nadhirun terbitan 2012, setidaknya ada 4 sistem demokrasi yang berlaku di tanah air hingga saat ini, di antaranya:

1. Demokrasi Parlementer (1945 - 1959)

2. Demokrasi Terpimpin (1959 - 1965)

3. Demokrasi Pancasila Orde Baru (1965 - 1998)

4. Demokrasi Reformasi (1998 - Sekarang).

Demokrasi Reformasi melahirkan beberapa fase, dan fase-fase tersebut, sejatinya adalah bagian dari arah dan tujuan dari demokrasi yang sebenarnya, yakni:

Adanya pemilu secara langsung, kebebasan pers, desentralisasi, hak-hak warga lebih terjamin dan rekrutmen politik yang lebih terbuka.

Kendati demokrasi sudah kembali ke jalannya, namun tak bisa dimungkiri lagi, bahwasannya hingga saat ini, para elit politik masih kental dengan budaya dinastinya.

Misalnya: seorang pemimpin partai politik, maka penerusnya adalah anaknya. Sama halnya, presiden bisa saja mengorbitkan anaknya menjadi pemimpin di berbagai level. Karena adanya ikatan emosional dan hubungan darah.

Jika kita melihat lagi ke belakang, pikiran kita akan tertuju pada sistem pemerintahan feodalisme di awal kerajaan-kerajaan kuno, seperti: Mataram Kuno, Kediri, Singasari dan Majapahit.

Sejatinya sistem pemerintahan dinasti tidak lah salah. Jika, pemimpin bangsa bekerja melayani rakyat, bukan untuk kepentingan pemimpin partai dan anggotanya.

Jika hal itu masih saja terjadi di demokrasi tanah air, berarti ada yang tidak beres dengan mindset para pemimpin.

Jauh dari pembahasan tersebut, saya akan kembali mengutip pendapat dari Gabriel Almond, Sydney Verba dan Lucian W. Pye yakni; "setiap proses politik selalu berlangsung dalam konteks budaya yang melibatkan interaksi antara kehidupan politik dan nilai-nilai budaya masyarakatnya
(Sulaiman, 2008).

Dalam penjelasan Profesor Deddy Mulyana, penulis buku 'Komunikasi Lintas Buaya, dikatakan bahwasannya budaya politik Indonesia mirip dengan politik Amerika.

Di mana, setiap menjelang kontestasi pemilihan presiden hingga kepala daerah, para calon pemimpin dalam kampanyenya selalu memasarkan diri sendiri sebagai kandidat politik, termasuk lewat debat.

Kendati demikian, "Menjual Diri" dalam setiap kampanye yang terjadi di Indonesia sudah over dosis, alias lebih banyak memuji -muji dan menonjolkan kehebatan dan keberhasilan diri sendiri, meski tak seberapa.

Sementara, di Amerika Serikat, para calon pemimpin presiden atau pun kepala daerah, lebih banyak menonjolkan REKAM JEJAK yang panjang, lengkap, dan terukur.

Bagaimana Persepsi Anda Terkait Debat Calon Kandidat Kepala Daerah 2024?

Sejauh yang saya ikutin selama ini, kebanyakan calon pemimpin kepala daerah kurang lebih menonjolkan diri, ketimbang rekam jejak kerja nyatanya untuk rakyat.

Selain itu, selama berlangsungnya debat kandidat, ada beberapa calon kepala daerah yang berusaha untuk menyerang lawannya.

Terpisah dari problematika komunikasi politik yang terjadi di Indonesia, terutama jelang Pilkada serentak 2024 pada Rabu, 27 November 2024 mendatang, mewakili TAFENPAH saya sekal lagi menegaskan dan mengimbau kepada pembaca Budiman untuk memilih pemimpin yang nantinya bekerja untuk rakyat. 

Bukan sebaliknya, pemimpin yang akan bekerja untuk kepentingan ketua partai dan anggotanya.

Jauh dari lubuk hati yang terdalam, saya bukannya anti demokrasi yang berorientasi pada dinasti, apalagi pemimpin yang nantinya bekerja untuk penggemukan partainya, ketimbang rakyat!

Tetapi, saya hanya menginginkan calon kepala daerah yang nantinya memajukan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan warga, khususnya yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur.




Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Pilkada 2024, Antitesis Komunikasi antar Calon Pemimpin (Tinjauan TAFENPAH dalam Menyikapi Politik Dinasti di Indonesia) "