3 Kelemahan Lulusan S1 Indonesia Menurut Kemdiktisaintek
Penulis: Frederikus Suni
3 Kelemahan Lulusan S1 Indonesia. Tafenpah.com |
Tafenpah.com - Pro dan kontra terkait kualitas lulusan S1 di tanah air terus memicu banyak pihak untuk ikut berspekulasi.
Spekulasi atau dugaan/asumsi yang belum tentu kebenarannya menjadi salah satu cara/patokan/indikator dalam ilmu pengetahuan untuk mencari jawaban yang valid dari penelitian tertentu.
Profesor Satryo Soemantri Brodjonegoro (Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi) mengkritisi lulusan S1 dari berbagai perguruan tinggi Indonesia dengan 3 dugaan atau asumsi, di antaranya:
1. Lulusan S1 sekarang tidak bisa menulis
2. Lulusan S1 tidak memahami konteks
3. Lulusan S1 tidak memiliki etos kerja
Mari, kita membedah ketiga dalil dari Prof Satryo (Kemdiktisaintek) dengan rasional (rasio/akal sehat) dan juga Perspektif kebudayaan.
Berdasarkan studi keilmuan yang sedang saya ambil, terutama Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Siber Asia (Unsia), saya akan mencoba untuk mengelaborasikan ketiga dalil Prof Satryo dengan perspektif kebudayaan.
Di mana, intisari dari komunikasi adalah perspektif. Terkait ketiga dalil dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi di atas, saya melihat persoalan itu sejatinya tergantung pada kapasitas setiap pribadi dalam mengaplikasikan atau menerapkan disiplin ilmu yang mereka pelajari selama di kampus dalam kehidupan harian.
Pada poin pertama, Prof Satryo mengatakan dewasa ini, lulusan S1 tidak bisa menulis!
Menurut saya, dalil/asumsi dari Prof Satryo ada benarnya.
Karena pada dasarnya, ada orang yang cakap/piawai dalam merencanakan sesuatu, tapi pribadi tersebut tidak dapat menuliskan rencananya, dan pada akhirnya pendapatnya tidak dapat mempengaruhi khalayak umum.
Kelompok ini saya mengkategorikannya kedalam manusia perencana.
Ada juga pribadi yang pintar dalam berkomunikasi atau menyampaikan sesuatu di hadapan umum, namun ia lemah atau sama sekali tidak bisa menuliskan idenya.
Saya kembali memasukkan pribadi ini ke dalam kelompok ahli komunikasi.
Demikian pula, ada pribadi yang pintar dalam mengkomposer segala sesuatu yang ia lihat, dengar, alami, cium, raba, dan lainnya ke dalam tulisan yang indah dan dapat mempengaruhi publik.
Persoalannya, pribadi tersebut lemah dalam berkomunikasi atau tidak secakap ahli komunikasi yang biasanya berapi-api di depan orang banyak.
Hipotesanya adakah kita semua punya porsi dalam setiap aspek kehidupan. Untuk itu, kita pun harus kembali pada nilai-nilai kearifan lokal budaya kita.
Karena di sanalah, kita akan menemukan ruang komunikasi dan penghargaan yang jauh lebih tinggi terhadap keberadaan sesama.
Dalam kajian ilmu Filsafat, kita akan menamai pendapat di atas sebagai bagian dari filsafat Liyan.
Apa itu Filsafat Liyan? Berdasarkan pemahaman saya sewaktu masih berstatus sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana Malang tahun 2017 lalu, pengertian sederhana dari filsafat Liyan adalah apa yang dialami atau yang ada dalam diri sesama, sama halnya apa yang ada dalam diri kita.
Lebih sederhananya menurut pandangan orang Indonesia Timur adalah "Ale Rasa, Beta Ju Rasa."
Artinya; apa yang sedang Anda alami, perasaan itulah yang saya alami juga.
Kedua; Lulusan S1 Tidak Memahami Konteks
Secara pribadi, saya menyetujui pendapat/dalil dari Prof Satryo.
Mengingat, dewasa ini ada begitu banyak kejanggalan yang terjadi dalam kehidupan Komunikasi antarpribadi hingga antar-kelompok.
Prof Satryo ketika memberikan kuliah umum di salah satu Perguruan Tinggi menekankan lulusan S1 saat ini tidak memahami konteks.
Artinya; apa yang mereka baca, terkadang mereka pun tidak dapat memahami isi atau maksudnya dari penulis buku, pembicara, pihak komunikator (pemberi pesan) dan lainnya.
Kelemahan ini juga bertalian erat dengan hasil dari 'Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2022.
Di mana, kualitas sumber daya manusia Indonesia menempati urutan ke-69 dari 80 negara partisipan.
Di kawasan Asia Tenggara saja, kita kalah dari negara tetangga.
Mungkinkah kita akan kembali mengalami degradasi atau penurunan peringkat di PISA 2025? Ataukah SDM kita akan memberikan kejutan dalam event 3 tahunan tersebut?
Yang pasti, segalanya masih tampak abu-abu. Yang perlu kita persiapkan adalah membenahi kualitas diri kita sendiri, terutama berusaha sedemikian maksimal untuk memahami apa yang sedang kita baca.
Karena pemahaman akan makna literasi di balik setiap bacaan, memampukan kita untuk menjadi pribadi yang jauh lebih siap dalam menyambut tahun-tahun mendatang.
Dampaknya juga akan dirasakan oleh generasi muda. Karena apa yang terjadi dalam diri lulusan S1 saat ini, merupakan desain yang sudah lama ada dalam diri generasi pendahulunya.
Untuk memutuskan rantai ketidakmampuan tersebut, pertama-tama adalah kita terus berlatih untuk memahami setiap makna di balik bacaan, pembicaraan dan kegiatan lainnya.
Ketiga; Lulusan S1 tidak Memiliki Etos Kerja
Persoalan kerja, saya menyakini kita semua punya fase di mana kita akan mengalami kejenuhan di lingkungan kerja.
Karena setiap hari kita mengulangi hal yang sama di tempat kerja.
Kendati demikian, di balik itu semua kita juga mempunyai tujuan lain yang jauh lebih mulia, yakni dengan bekerja kita menghidupi diri sendiri, jika pun lebih kita akan membantu orang tua dan sesama yang membutuhkan.
Jauh dari persoalan tersebut, apa yang diungkapkan oleh Prof Satryo ada benarnya.
Karena berdasarkan pengalaman saya dan juga orang lain yang saya dengar atau pun baca di berbagai pemberitaan, dewasa ini ada kecenderungan yang menerpa lulusan S1 di lingkungan kerja.
Di mana, ekspektasi mereka selama di lingkungan perguruan tinggi tidak sesuai dengan realita yang terjadi di kehidupan nyata, terutama lingkungan kerja.
Karena di lingkungan kerja, segalanya akan terjadi. Entah itu pengalaman yang paling menyenangkan hingga pengalaman yang tidak menyenangkan.
Itulah nikmatnya kehidupan di lingkungan kerja.
Kendati demikian, teruntuk lulusan S1 juga harus membuktikan etos kerjanya.
Karena ketika lulusan S1 memasuki dunia kerja, seluruh mata akan tertuju ke mereka.
Ibaratnya, di lingkungan kerja, lulusan S1 layaknya seorang aktor utama. Jadi, sekecil apa pun kelengahan mereka akan didesain sedemikian menarik dan bombastis guna menjatuhkan mereka.
Persoalan ini mengingatkan kita akan pepatah klasik Latin yakni; manusia adalah serigala bagi sesamanya.
Artinya, dalam keadaan apa pun, sesama manusia akan saling menjatuhkan, menyebar fitnah, memecahbelah, saling menyudutkan hingga terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan bersama.
Lanskap tersebut mengingatkan kita untuk selalu berjaga-jaga, sebagaimana pesan moral yang terdapat dalam ilmu-ilmu humaniora, terutama kepercayaan yang kita anut.
Terpisah dari problematika tersebut, ketiga poin atau dalil dari Prof Satryo di atas, sejatinya ingin merekonstruksi mindset kita untuk lebih fokus, mengupgrade diri dengan berbagai hal positif hingga melakukan sesuatu dengan tulus.
Semakna dengan apa yang ditekankan oleh Profesor Stella Christie, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi di hadapan tamu undangan dan juga pemirsa di rumah dalam acara Kick Andy yakni; pertumbuhan mindset masyarakat akan membawa keuntungan psikologis, ekonomi serta berbagai aspek kehidupan lainnya.
Mari, kita buktikan bahwasannya sumber daya manusia Indonesia saat ini, terutama lulusan S1 dapat melakukan sesuatu yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan bangsa Indonesia yang termanivestasi dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Disclaimer; Tulisan ini merupakan hasil analisis dan refleksi dari redaksi TAFENPAH. Teruntuk media arus utama dan juga kreator konten lainnya yang ingin mempublikasikan ulang tulisan ini, diharapkan untuk mencantumkan TAFENPAH sebagai sumber rujukan.
Posting Komentar untuk "3 Kelemahan Lulusan S1 Indonesia Menurut Kemdiktisaintek"
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat