Mama Aleta Baun, Pejuang Hutan Adat Suku Mollo, Penyelamat Cagar Alam Mutis

Penulis: Frederikus Suni 

Ilustrasi foto Mama Aleta Baun bersama rekan seperjuangannya, ketika menenun selama dua bulan di lokasi penambangan marmer, sebagai aksi protes secara damai. Sumber gambar: gubuktulis (Mama Aleta Baun/Tafenpah.com).


Tafenpah.com - Bumi dilambangkan sebagai tubuh manusia. Air adalah darah, tanah adalah daging, batu adalah tulang, dan hutan adalah rambut atau urat nadi. Demikian filosofi dari perjuangan mama Aleta Baun, tokoh adat suku Mollo, kabupaten Timor Tengah Selatan, provinsi Nusa Tenggara Timur dalam menentang perusahan penambang marmer di Fatukoto, Timor Barat Indonesia.

Jangan rusak hutan kami! Seruan filosofi yang bernada satirisme atau sindiran kepada pejabat pemerintah daerah Timor Tengah Selatan hingga pemprov NTT yang telah mengizinkan perusahaan penambang marmer di wilayah tersebut.

Kisah perjuangan mama Aleta Baun untuk menyelamatkan identitas orang Mollo yang identik dengan gunung batu, memang tidaklah mudah.


Karena sebagai seorang ibu, ia bersama rekan seperjuangannya sering mendapatkan diskriminasi dari preman sewaan perusahaan.




Perjalanan mama Aleta Baun untuk menyelamatkan alam gunung Mutis, sebagai sumber mata air di wilayah Timor Barat dan sekitarnya pun harus berhadapan dengan pejabat yang berkuasa saat itu di kabupaten Timor Tengah Selatan.

Bahkan mama Aleta Baun masuk dalam Daftar Pencairan Orang (DPO) Kepolisian TTS. Layaknya adegan yang biasanya kita saksikan di film-film action besutan Hollywood, Amerika Serikat.

Menghadapi diskriminasi dari pemerintah setempat, preman sewaan perusahaan hingga sebagian orang yang pro penambangan marmer, mama Aleta Baun justru mendapatkan dukungan dari suku Mollo, terutama ibu-ibu di perkampungan tersebut.

Karena mereka (ibu-ibu) tidak mau kehilangan sumber pewarnaan benang, akibat kerusakan alam pegunungan Mutis di balik penambangan marmer.

Salah satu aksi heroik dari mama Aleta Baun bersama rekan seperjuangannya dari suku Mollo adalah menenun selama dua bulan di lokasi penambangan marmer, tepatnya di desa Fatumnasi dan Kuanoel.

"Jangan merusak hutan kami. Jangan merusak alam kami. Jangan merusak lingkungan kami. Karena ketika bencana datang, tidak mungkin dialami oleh satu orang. Melainkan dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat di wilayah tersebut dan sekitarnya," tegas mama Aleta Baun.

Pemilik nama lengkap Aleta Kornelia Baun juga meneruskan perjuangannya melalui pertemuan gerilya.

Artinya, ia keluar masuk hutan di malam hari hanya untuk menghimpun kekuatan perlawanan terhadap perusahaan penambang marmer, Pemda setempat hingga pemprov NTT.

Lebih tidak manusiawinya adalah mama Aleta Baun kerap kali dijuluki sebagai pelacur.

"Karena saya sering di luar rumah. Dikatakan perempuan malam, tidak punya harga diri, naik ojek turun ojek, tidak tidur di rumah, tidak urus rumah tangga, bahkan dituduh selingkuh dengan tukang ojek," kenang Aleta.

Sebagai seorang ibu, mama Aleta Baun telah mengalami banyak permasalahan psikologis bersama dengan pertumbuhan anaknya. Karena tekanan yang ia terima datang dari arah mana saja. Terutama pihak-pihak yang telah mendukung penambangan marmer.

Kendati demikian, bagi saya mama Aleta Baun merupakan salah satu figur atau tokoh feminisme yang paling sukses di daratan Timor Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Karena dedikasi dan perjuangan mama Aleta Baun untuk menyelamatkan gunung Mutis dari keserakahan segelintir oknum, akhirnya berhasil.

Sebagai generasi muda NTT, khususnya yang berada di wilayah Timor Barat kita seharusnya meneruskan perjuangan mama Aleta Baun, sesuai dengan kapasitas kita di setiap bidang.

Karena hanya dengan cara demikian, kita pun bertumbuh dan berproses menjadi pribadi yang selalu mencintai perjuangan generasi pendahulu yang cintanya tak terbatas jarak dan waktu. Meski mereka mempertaruhkan harga diri, bahkan nyawa, tetapi mereka selalu yakin akan prinsip keutuhan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa di bumi Timor.

Apalagi suku Dawan Timor NTT, alam merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dari diri mereka.

Dari alam, suku Dawan Timor NTT mendapatkan banyak manfaatnya, mulai dari udara yang bersih, sumber air yang melimpah, tersedianya banyak margasatwa, obat-obatan tradisional, buah-buahan, tempat berteduh, makanan, ragam destinasi, tempat penggembalaan ternak, tempat bermain anak-anak desa hingga bersemayamnya leluhur dan penjaga pulau Timor.

Senada dengan pandangan filsuf Baruch de Spinoza yakni; Alam atau Tuhan memiliki satu substansi tunggu bagi kehidupan manusia.

Untuk itu, merusak hutan dengan tujuan pemenuhan nafsu dan menumbun kekayaan bagi segelintir orang adalah bagian dari pembunuhan massal generasi penerus bangsa.
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group
Frederikus Suni Admin Tafenpah Group Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Mama Aleta Baun, Pejuang Hutan Adat Suku Mollo, Penyelamat Cagar Alam Mutis "