Narasi Kebudayaan, Indikator Pemprov NTT dalam Menciptakan Laboratorium Pendidikan Dunia
Penulis: Frederikus Suni
Narasi Kebudayaan Atoin Meto NTT. Ilustrasi suasana kebersamaan keluarga besar Suni Lake Haumeni, Bikomi Utara, TTU. Tafenpah.com |
Tafenpah.com - Narasi yang bersumber pada konteks kebudayaan, biasanya akan sangat mudah diterima oleh setiap orang. Karena dalam narasi kebudayaan, ada nilai-nilai kosmos (semesta), spiritualitas (religi), etika (prinsip hidup), moral (kejujuran suara hati dalam menentukan mana yang salah dan benar), human being (nilai kemanusiaan), sense of belonging (rasa memiliki), sense of being (rasa keberadaan), human logical ( pribadi yang berpikir logis), human culture (manusia yang berbudaya) dan aspek kehidupan lainnya.
Tujuan dari paradigma atau cara berpikir demikian, pada akhirnya akan melahirkan pribadi yang memiliki karakter dan kecintaan yang luar biasa terhadap nilai-nilai kearifan lokal budayanya, dalam menghadapi tuntutan zaman.
Namun, sebelum kita sampai di fase tersebut, ada pun instrumen yang sedari awal didesain untuk menjadi fasilitatornya, yakni pejabat di lingkungan pemerintah, khususnya yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur.
Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki 21 kabupaten dan satu kota, yaitu kota Kupang.
Bayangkan saja, jika setiap pemimpin yang berada di 21 kabupaten tersebut merekonstruksi sistem Pendidikan yang berbasiskan pada kearifan lokal budaya, di samping mengejawantahkan model pendidikan nasional, maka tidak ada yang mustahil, di masa depan, provinsi NTT akan menjadi laboratorium penelitian para ahli dari penjuru dunia.
Karena provinsi Nusa Tenggara Timur setidaknya memiliki 1.192 pulau dengan 3 pulau utamanya, yakni pulau Flores, Sumba, dan Timor.
Dari ketiga pulau utama atau terbesar di bagian tenggara Indonesia tersebut, NTT juga memainkan peran strategis dalam kehidupan geopolitik dan ekonomi.
Di mana, bagian Timur NTT berbatasan langsung dengan Laut Timor sekaligus negara Demokratik Timor Leste. Sementara di bagian Selatan NTT, tepatnya pulau Rote berbatasan dengan negara Australia.
Lanskap atau potretan keberadaan NTT di antara kedua negara tetangga tersebut juga akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi lokal.
Untuk mencapai visi tersebut, pemprov NTT sudah selayaknya mereformasi sistem pendidikan yang selalu berorientasi pada pembentukan karakter generasi mudanya melalui nilai-nilai kebudayaannya sendiri.
Karena negara-negara maju dan besar di dunia, mendesain kehidupan generasi penerusnya dengan model pendidikan yang berbasiskan pada kebudayaan setempat, meski masyarakatnya paham teknologi.
Hennie Triana Oberst adalah Kompasianer (penulis Kompasiana) sekaligus sahabat pena saya yang saat ini tinggal di Jerman.
Dalam bukunya yang berjudul "Insight Germany (Cakrawala Negeri dan Budaya Jerman) dengan apik menuliskan satu fenomenologi atau realitas yang dialami dan dihidupi oleh masyarakat penghasil mobil Mercedes terbaik sedunia tersebut, yaitu kurang lebih seperti di bawah ini:
Kendati masyarakat negeri Panzer Jerman terkenal dengan budaya kerjanya yang tinggi, kedisiplinan, daya kompetitif, dan visioner dalam memandang perubahan dunia, mereka pun tidak pernah melupakan kearifan lokal budayanya.
Saya rasa konsep berpikir demikian lah yang sangat tepat untuk pemprov NTT terapkan di lingkungan pendidikan.
Memang sebagus apa pun konsep atau cara berpikir visioner, belum tentu akan berhasil dalam aplikasinya.
Kendati demikian, setidaknya kita berusaha untuk menanamkan model pendidikan yang berbasiskan pada kebudayaan setempat.
Mengingat, di sanalah kita bertumbuh, berproses menjadi pribadi yang kita impikan ataupun saat ini kita sedang menjalaninya.
Terlepas dari pendekatan di atas, saya dan juga pembaca Budiman di website TAFENPAH yakin, provinsi Nusa Tenggara Timur akan terus berkembang.
Dalam perkembangan tersebut, kita pun harus memiliki landasan filosofis pendidikan yang selalu berorientasi pada kearifan lokal budaya.
Karena tanpa landasan pendidikan moral dan etika Kebudayaan, perjalanan kita sama seperti seorang penjelajah yang tidak memiliki kompas.
Akibatnya, kemajuan zaman, terutama perkembangan teknologi secanggih apapun tidak akan memberikan legacy yang berkelanjutan kepada generasi muda di NTT.
Mari, kita bangun NTT dengan narasi-narasi pendidikan yang selalu berorientasi pada kearifan lokal budaya setempat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh ilmuan Bagus Muljadi, yakni; Pendidikan Indonesia, terutama sumber daya manusianya akan berdaya saing di kancah internasional, jika sedari tingkat dasar dibangun berdasarkan demokrasi berpikir yang berbasiskan pada kebudayaan setempat.
Menutup pembahasan ini, saya pun kembali meminjam istilah yang Barsoux pakai yakni; dengan mempelajari budaya, sejatinya kita sedang mengamati dunia. Sebaliknya, bagaimana dunia memandang kita.
Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan pihak mana pun. Karena tulisan ini adalah hasil analisis penulis sekaligus tawaran penulis terhadap pemprov NTT untuk mendesain model pendidikan yang berbasiskan pada kearifan lokal budaya Flobamorata (Flores, Sumba, Timor, Alor, dan Lembata).
Instagram Penulis: @suni_fredy & @tafenpah_group
YouTube: Tafenpah Group
TikTok: @tafenpah.com
Posting Komentar untuk "Narasi Kebudayaan, Indikator Pemprov NTT dalam Menciptakan Laboratorium Pendidikan Dunia "
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan baik dan sopan ya! | Terima kasih
Diperbolehkan mengutip tulisan dari Tafenpah tidak lebih dari 30%, dengan syarat menyertakan sumber | Mari, kita belajar untuk menghargai karya orang lain | Salam hangat