Spiritualitas Mao Zedong, Revolusi Kebudayaan Cina, Dampak bagi Citizen Journalism NTT dalam Mengembangkan Konten Lokal

 Penulis: Frederikus Suni


Mao Zedong pemimpin revolusi kebudayaan sekaligus pendiri Republik Rakyat Tiongkok. Sumber gambar: ThoughtCo

Kata Pengantar

TAFENPAH.COM - Sebagai pribadi yang selalu percaya akan kuasa Sang pencipta, maka pertama-tama saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat, berkat dan kebijaksanaanNya, saya dapat menyelesaikan Makalah “Spiritualitas Mao Zedong dalam Merevolusi Kebudayaan Cina serta Dampak dan Manfaatnya bagi Pertumbuhan Konten Kearifan Lokal NTT.” Terima kasih juga saya sampaikan kepada Dosen dan narasumber yang selalu membimbing, mengarahkan hingga saya dapatkan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.



Makalah ini saya buat dengan tujuan untuk memenuhi Ujian Akhir Semester, Mata Kuliah ITC Literacy, Program Studi PJJ Komunikasi, Universitas Siber Asia. Makalah ini juga diharapkan dapat membawa pandangan baru bagi pegiat literasi digital (Citizen Journalism) yang berada di Indonesia, terutama Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk mencintai kearifan lokal budayanya, sebagai bagain integral dalam menjalani kehidupan multikultural di era perkembangan informasi dan komunikasi.


Akhirnya, saya menyampaikan selamat dan juga apresiasi kepada pembaca budiman yang selalu setia mencari sekaligus membaca makalah ini hingga akhir.


Bab 1

Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Pada tahun 1968 Mao Zedong berusaha untuk merekonstruksi mindset masyarakat Cina untuk lebih peduli pada pengembangan kearifan lokal budayanya. Karena, Mao Zedong menyakini bahwasannya, negeri Cina dalam beberapa abad ke depan akan mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan dalam berbagai aspek kehidupan.


Pertumbuhan tersebut juga harus dibarengi dengan nilai-nilai tradisi leluhur Cina. Untuk itu, Mao Zedong mengeluarkan dekrit/keputusan/perintah yang mengharuskan setiap lulusan SMA pada tahun 1968 untuk dikirimkan ke kampung halaman dengan tujuan untuk bekerja.


Bagi lulusan SMA pada rezim kekuasaan Mao Zedong dianggap sebagai krisis. Karena dekrit tersebut terkesan dipaksakan kepada generasi mudanya. Kendati demikian, di balik ketegasan dan keganasan Mao Zedong dalam merekonstruksi mindset generasi mudanya untuk bekerja di kebun dengan semangat gotong royong, kesetiakawanan, pantang menyerah dan selalu percaya pada nasib baik, ikut melahirkan perspektif baru bagi citizen journalism NTT.


Salah satu perspektif Mao Zedong yang diadopsi oleh citizen journalism NTT adalah semangat menghidupkan nilai-nilai tradisi kearifan lokal budayanya yang dikemas dalam berbagai konten digital.


1.2 Rumusan Masalah

2.1 Mengapa Mao Zedong Merevolusi Kebudayaan Cina?

2.2 Dampak Revolusi Kebudayaan Cina Terhadap Cara Pandang Citizen Journalism NTT

2.3 Untuk apa generasi muda NTT mempelajari kearifan lokal budayanya?

1.3 Tujuan Penulisan

3.1 Untuk menyelesaikan UAS ITC Literacy

3.2 Berbagi Pengalaman Kebudayaan NTT kepada pembaca

3.3 Meningkatkan rasa cinta generasi muda dalam mempelajari sejarah dan kearifan lokal

budayanya

1.4 Manfaat Penulisan

 4.1 Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia

 4.2 Meningkatkan kesadaran berbudaya generasi muda

Bab II

Pembahasan

Mengapa Mao Zedong Merevolusi Kebudayaan Cina?

Sebagaimana yang saya katakan di bagian latar belakang, alasan utama Mao Zedong menghidupkan revolusi kebudayaan pada tahun 1968 terhadap generasi mudanya (lulusan SMA) adalah ilmu pengetahuan yang generasi mudanya dapatkan sebelum era kekuasaannya adalah produk dari borjuis.


“Mao Zedong segera mengklaim bahwa semua pendidikan yang telah diterima kaum muda pada masa lalu bersifat borjuis sehingga mereka perlu dididik ulang dengan kerja keras (Michael C Tang, Kisah-Kisah Kebijaksanaan China Klasik (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2015), hlm.XII).


Selain alasan tersebut, Mao Zedong menyakini bahwasannya dalam beberapa abad ke depan, bangsa Cina akan berkembang dari aspek apa pun. Untuk itu, revolusi kebudayaan versi Mao Zedong adalah menanamkan nilai-nilai tradisi kepada kaum mudanya untuk bekerja keras.


Karena bagaimana pun juga, melalui semangat kerja keras dan pantang menyerah, kesuksesan lamban tapi pasti akan menghampiri mereka yang bekerja dengan sungguh-sungguh.


Hari ini, kita mengelu-elukan warga Cina karena mereka hampir sukses di bidang apa pun. Padahal, mereka sudah melakukan revolusi kebudayaan yang ditandai dengan kerja keras sejak tahun 1968 di bawah kepemimpinan Mao Zedong.


Kesuksesan warga Cina tidak terlepas dari etos dan nilai-nilai tradisinya, sebagaimana yang diajarkan oleh Mao Zedong.


Kendati, pada zaman itu, mayoritas warga Cina menuding Mao Zedong sebagai rezim yang lumayan kejam dan tak berperikemanusiaan. Namun, dampaknya mereka (warga Cina) rasakan hingga saat ini dan sampai kapan pun.


Dampak Revolusi Kebudayaan Cina Terhadap Cara Pandang Citizen Journalism NTT


Setelah kita membaca sekaligus melihat sepintas spiritualitas Mao Zedong dalam merevolusi kebudayaan Cina, kita pun akan mengarahkan padangan kita menuju wilayah tenggara Indonesia, yakni: Provinsi Nusa Tenggara Timur.


Sejak tahun 1958 secara resmi Kepulauan Sunda Kecil dibagi menjadi tiga provinsi yakni: Bali, NTB, dan NTT. Saat itu pula, NTT berjuang untuk mengatur sekaligus menghidupi masyarakatnya yang tersebar di daratan Flores, Sumba, Timor, dan Alor (Flobamora).


Artinya; NTT secara mau tidak mau dipaksa untuk lebih mandiri. Mengingat, NTT memiliki kekayaan alam tersendiri, alamnya yang indah, sumber daya manusianya yang dinilai sangat berkompeten dalam berbagai bidang kehidupan hingga kekayaan budayanya.


Apalagi, warga NTT dikenal dengan pekerja keras, pantang menyerah dan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal budayanya.


Pertanyaannya; Mengapa Cina yang merevolusi kebudayaannya sejak tahun 1968 lebih

maju daripada provinsi NTT?

Asumsi pertama: Karena tingkat korupsi di wilayah NTT sangat tinggi

Kedua: Kekayaan alam dan budayanya tidak didukung oleh sumber daya manusianya yang

handal

Ketiga: Rasa persatuan dalam membangun setiap wilayah belum maksimal

Keempat: Sistem pendidikan yang belum dijangkau oleh setiap warga NTT

Kelima: Akses kesehatan dan infrastruktur sangat terbatas

Keenam: Tidak ada pemimpin berkharisma dan sangat disegani

Ketujuh: Generasi mudanya yang tidak memiliki etos kerja cerdas

Kedelapan: Tidak ada road maps atau peta petunjuk yang jelas terkait dengan pembangunan

sumber daya manusia yang berbasiskan pada kearifan lokal budaya.


Padahal jika kita berkaca dari keturunan ras Tionghua yang berada di Indonesia, mayoritas suku bangsa Tionghua sangat peduli pada nilai-nilai kebudayaannya. Meskipun mereka dikenal sebagai ras paling sukses dalam ekonomi di Indonesia, namun mereka tidak melupakan sejarah kebudayaannya.


Tentu saja, hal demikian sangat berbanding terbalik dengan kaum muda NTT. Di mana, generasi muda NTT biasanya enggan untuk berbicara bahasa ibu atau bahasa daerahnya, ketika mereka berada di ruang publik.


Padahal, bangsa yang besar biasanya membangun mindsetnya pada kearifan lokal budayanya. Sebagaimana suku bangsa Cina.


Mencermati fenomenologi tersebut, citizen journalism NTT dewasa ini sedang berusaha untuk merekonstruksi mindset kaum mudanya untuk lebih peduli pada pendidikan karakter yang berbasiskan pada kebudayaannya sendiri.


Perlahan tapi pasti, upaya yang dilakukan oleh citizen journalism saat ini akan memberikan dampak yang sangat signifikan bagi mindset generasi muda NTT untuk memaknai setiap proses dalam bingkai kebudayaan.


Karena sejak lahir, manusia berada dalam lingkaran kebudayaan. Demikian pula, warga NTT akan kembali ke pangkuan semesta dalam bingkai kebudayaannya.


Dengan mempelajari spiritualitas Mao Zedong, setidaknya ikut memberikan harapan baru bagi pemerintah provinsi NTT untuk membangun sistem pendidikan yang berbasiskan pada kearifan lokal budaya setempat.


Karena NTT terus berkembang. Apalagi kecantikan alam dan keberadaan reptil Komodo, ikut memberikan peluang kemajuan tersendiri bagi NTT di masa depan.


Asalkan pemerintah provinsi, kota dan kabupaten bersinergi dan bekerja secara adil dan jujur, guna menumbuhkan mindset spartan bagi generasi mudanya.


Untuk apa generasi muda NTT mempelajari kearifan lokal budayanya?

Pertanyaan tersebut kurang lebih sama dengan pertanyaan satiris berikut, “Untuk apa kita

hidup?.”


Setiap orang, terutama warga NTT pastinya memiliki tujuan hidup. Karena dengan memiliki tujuan hidup, setidaknya kita selalu berusaha untuk mengubah diri, sedikit demi sedekit menuju pada tanggung jawab yang lebih besar.


Berkaitan dengan tanggung jawab, sebagai warga NTT kita pun memiliki tanggung jawab moral untuk ikut mengembangkan wilayah perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste.


Perihal untuk apa generasi muda NTT wajib mempelajari kearifan lokal budayanya, karena ke depan, provinsi NTT akan menjadi laboratorium atau pusat penelitian kebudayaan Indonesia. Asalkan dari saat ini, kita memiliki hasrat untuk mencintai, hasrta untuk memelihara, hasrat untuk belajar, hasrat untuk melihat segala sesuatu dari perspektif kearifan lokal.


“Karena etika tidak datang dari ruang hampa, melainkan melalui evolusi masyarakat yang bersangkutan dalam mengembangkan realitas sosialnya.”(Deddy Mulyana, Komunikasi Lintas Budaya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2019), hlm. 5).

Realitas sosial yang kini dihidupi oleh warga NTT adalah ingin menjadi lebih baik. Hasrat untuk mendapatkan kehidupan yang jauh lebih, tidak akan pernah lepas dari seberapa kita menjiwai semangat kebudayaan dari mana kita lahir.


Karena melalui semangat kebudayaan, kita pun akan lebih percaya pada proses, ketimbang hasil. Sebagaimana yang Mao Zedong lakukan terhadap kaum mudanya.


Meskipun pada awalnya, banyak warga Cina yang menilainya sebagai rezim yang otoriter. Namun, proses yang telah ditanamkan oleh Mao Zedong telah menumbuhkan semangat bekerja bagi orang Cina.


Spiritualitas Mao Zedong bisa saja diterapkan dalam kehidupan kaum muda NTT, asalkan orang tua beserta stakeholder pemerintah dan swasta ikut mendukung pendidikan yang berbasiskan pada pembentukan karakter.


Di mana model pendidikan yang didasarkan pada semangat kebudayan menuju kehidupan yang selalu bersumber dari nilai dan tradisi kearifan lokal. Karena dengan mempelajari kearifan lokal budaya kita, sejatinya kita telah melihat dinamika dunia. Sebaliknya, dunia melihat bagaimana kita menjalani kehidupan.


Bab III

Penutup

Kesimpulan


Dari ulasan di atas, penulis berupaya untuk memberikan kritikan yang membangun, terutama bagi generasi muda NTT. Karena penulis harus mengakui, bahwasannya NTT merupakan satu dari beberapa tanah dengan kekayaan alamnya yang indah dan cantik.


Keindahan budayanya juga ikut menjadikan NTT sebagai destinasi perjalanan bagi jutaan wisatawan mancanegara.


Kendati demikian, sebagai generasi muda NTT, sudah sewajarnya kita mengadopsi pola pikir atau spiritulitas Mao Zedong, terkait dengan revolusi kebudayaannya.


Karena spiritulitas tersebut sangat relevan dengan pembangunan provinsi NTT saat ini dan ke depan. Apalagi, di tengah kemajuan ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi dan teknologi memungkinkan setiap generasi muda NTT untuk ikut andil dalam melestarikan kearifan lokal budayanya melalui berbagai karya digital.


Bukan hanya itu saja, tugas utama kita adalah menjadikan ruang kosong atau kehampaan yang selama ini kita hidupi dan alami sebagai warga NTT yang tak kunjung maju dalam hal apa pun, guna merekonstruksi mindset kebudayaan kita dalam bekerja.


Bekerja dalam semangat atau spirit kebudayaan jauh lebih menyenangkan. Karena kita akan selalu berproses dalam semangat mencintai pesan-pesan kebudayaan leluhur dalam setiap perjalanan hidup kita.


Kirainya, dengan semangat Mao Zedong, terutama konsep rekonstruksi kebudayaannya memampukan kita sebagai pribadi yang selalu memiliki rasa keberadaan, rasa cinta, rasa kebudayaan dan rasa nasionalisme dalam membangun budaya dan bangsa Indonesia.


Daftar Pustaka

Tang, Michael, C. (2015). Kisah-Kisah Kebijaksanaan China Klasik. Jakarta: Gramedia

Pustaka.

Mulyana, Deddy. (2019). Komunikasi Lintas Budaya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Channel Youtube: Perspektif Tafenpah

Website: www.tafenpah.com

Link Presentasi via video Youtube di bawah ini:

https://youtu.be/hU_eXd1GJ8Y?si=SDMCTFIJNGsBgbZ5

https://youtu.be/hU_eXd1GJ8Y?si=qbkqc_fsueswz3lC

Frederikus Suni Redaksi Tafenpah
Frederikus Suni Redaksi Tafenpah Salam kenal! Saya Frederikus Suni, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia || Menekuni bidang Jurnalistik sejak 10 tahun lalu. || Saya pernah menjadi Jurnalis/Wartawan di Metasatu dan NTTPedia. Selain itu, saya juga berkolaborasi dengan salah satu Dosen dari Binus university dan Atma Jaya, terutama Proyek dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, dalam pendistribusian berita ke Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya juga pernah menjadi bagian dari Public Relation/PR sekaligus Copywriter dari Universitas Dian Nusantara (Undira) Tanjung Duren Jakarta Barat. Saat ini fokus mengembangkan portal pribadi saya TAFENPAH.COM dan juga menjadi kontributor di beberapa website tanah air, Kompasiana, Terbitkanbukugratis, Eskaber, PepNews, Lombokainsider. Tulisan saya juga beberapa kali dipublikasikan ulang di Kompas.com Saya juga menerima jasa pembuatan Website || Media sosial: YouTube: TAFENPAH GROUP || TikTok: TAFENPAH.COM || Instagram: @suni_fredy || Terkait Kerjasama dapat menghubungi saya melalui kontak ������ || WhatsApp: 082140319973 || Email: tafenpahtimor@gmail.com

Posting Komentar untuk "Spiritualitas Mao Zedong, Revolusi Kebudayaan Cina, Dampak bagi Citizen Journalism NTT dalam Mengembangkan Konten Lokal"